Kamis, 31 Januari 2008

Pak Harto, Demokratis dan Konstitusional




"Kita tidak bermaksud mengagung-agungkan masa lalu. Namun masa lalu janganlah dibiarkan berlalu begitu saja. Sebab masa lalu mengandung sejumlah pelajaran dan kearifan sebagai bekal Untuk menatap masa depan yang lebih cerah."

Itu kebijakan yang akan membawa kebajikan bagi seluruh rakyat Indonesia . Batu ujiannya adalah bagaimana sikap sebagai seorang pemimpin dalam situasi kenegaraan yang sangat gawat dan rumit dan harus memutuskan sesuatu?

Hal tersebut tampak pada kebijakan Pak Harto yang menegaskan sikapnya, selaku Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), terhadap Bung Karno pada 7 Maret 1967.

Pak Harto berpendapat, tidak cukup menunjukkan sikap sebagai Pangkopkamtib, tapi lebih tinggi sampai di forum Sidang Istimewa MPRS dalam kedudukannya sebagai penjabat presiden pada 13 Maret 1967. Kedudukan Pak Harto pada 1965, 1967, dan 1968 berturut-turut adalah Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad), Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), pengemban Tap MPRS Nomor IX Tahun 1967, dan penjabat presiden.

Simak saja pidato Pak Harto sebagai Pangkopkamtib di hadapan Sidang Istimewa MPRS pada 7 Maret 1967 dan pidato kenegaraan Pak Harto sebagai penjabat presiden pada 13 Maret 1967, antara lain sebagai berikut:

1. Riwajat patriotik perdjuangan Bung Karno, jang sedjak masa remajanya telah berjuang secara aktif didalam gelanggang politik untuk kemerdekaan dan kebebasan Bangsa Indonesia secara berani dan tak kundjung menjerah sampai keluar masuk pendjara dan pengasingan, Bung Karno berjuang untuk melawan kolonialisme jang menjajah kita.

2. Demikian pula beliau jang secara resmi menemukan kembali dasar-dasar falsafah kepribadian Bangsa Indonesia ialah Pantjasila jang hingga kini tetap berkumandang di dalam dan di luar negeri dan telah kita terima bersama dan bertekad untuk mempertahankan setjara mati-matian.

3. Kemudian kenjataan bahwa Bung Karno adalah Proklamator dari Negara Kesatuan Republik Indonesia ini sungguh mempunjai arti yang tinggi yang harus kita hargai dan mulyakan bersama.

Dengan alasan-alasan jang mendalam itu, maka dengan segala pengertian dan pengetahuan mereka terhadap kesalahan-kesalahan Bung Karno dewasa ini, secara irrasionil dan dengan iktikad baik diharapkannja agar supaja Bung Karno tidak diperlakukan secara tidak adil. Jangan sampailah generasi dewasa ini dipersalahkan oleh generasi jang akan datang karena memperlakukan pemimpin rakyat jang patriotik tidak sewajarnya (Sidang Istimewa MPRS, 7 Maret 1967).

Disamping alasan psycologic --praktis tersebut diatas, perlu kami jelaskan kepada seluruh rakyat Indonesia, bahwa berdasarkan keterangan team dokter yang kompeten, yang diberikan atas sumpah jabatan, bahwa sebenarnya keadaan kesehatan Bung Karno sudah sedemikian mundurnya, sehingga wadjarlah apabila kita sebagai Bangsa jang berjiwa kebesaran Pantjasila, akan memperlakukan beliau sesuai dengan keadaan kesehatannya tersebut (Pidato penjabat presiden, 13 Maret 1967).

Penegasan Pak Harto pada waktu itu terhadap Bung Karno dapat dikatakan melawan arus, karena sebagian besar masyarakat menghendaki Bung Karno diadili. Walaupun ada Pasal 6 Tap MPRS Nomor 22, Februari 1967, yang bunyinya: "Menetapkan penjelasan persoalan hukum selanjutnya jang menjangkut Dr. Ir. Sukarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pejabat Presiden," Pak Harto memperlakukan Bung Karno tetap berdasarkan kepada sikap mikul duwur mendhem jero sampai akhir hayat Bung Karno. Bahkan untuk menghormati dan menghargai jasa Bung Karno, dibangunlah Patung Proklamator. Demikian pula Bandar Udara Cengkareng diubah namanya menjadi Bandar Udara Soekarno-Hatta.

Bagaimana perlakuan seluruh bangsa Indonesia dewasa ini terhadap Bapak Pembangunan Indonesia , Bapak H.M. Soeharto? Karena apa? Karena umur manusia adalah di tangan Allah SWT. Karena itu, saya berpendapat, memulihkan kesehatan Pak Harto yang kondisinya menderita macam-macam memang merupakan masalah tersendiri yang berakibat timbulnya "komplikasi medis". Tapi, sebagai bangsa Indonesia yang berideologi Pancasila, mengapa kita tidak mewujudkan petuah mikul duwur mendhem jero. Artinya, kalau memulihkan kondisi kesehatan Pak Harto masih merupakan dilema tersendiri, mengapa kita tidak bersikap untuk memulihkan nama, martabat, dan kehormatannya.

Sekarang "tangan sejarah" ada di tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan: "Pulihkan nama, martabat, dan kehormatan Bapak H.M. Soeharto."

Semoga "tangan Allah SWT" membimbing Bapak H.M. Soeharto pada saatnya dengan tenang kembali ke hadirat Allah SWT dengan "khusnul khatimah".

Hasil karangan Penulis; Ismail Saleh
Penasihat pribadi H.M. Soeharto

Tidak ada komentar: