Kamis, 14 Februari 2008

Berebut Rp 14 Triliun

TEMPO Edisi. 51/XXXVI/11 - 17 Februari 2008


MENGUSUT harta Soeharto, sebetulnya, tak semusykil mencari jarum di tumpukan jerami. Yang dibutuhkan hanyalah sikap keras hati, tekad bulat, dan keyakinan. Di mana ada niat, di situ ada jalan.

Jalan itu sudah terbentang di depan mata. Kalau mau, aparat penegak hukum bisa jelas melihatnya: sidang perceraian anak ketiga Soeharto, Bambang Trihatmodjo, dengan Halimah Agustina Kamil. Yang menarik bukan soal hakim mengabulkan permohonan cerai Bambang dan dilawan Halimah dengan naik banding, melainkan aset luar biasa besar dalam sidang itu. Jumlah yang diperebutkan Rp 14 triliun—barangkali merupakan harta gono-gini terbesar dalam sejarah Republik Indonesia.

Selebihnya, cerita perceraian itu bagai telenovela yang membius. Simak saja. Pengacara Halimah meminta pengadilan menyita sejumlah aset milik pasangan itu. Halimah khawatir harta mereka dipindahtangankan sebelum perceraian itu mendapat ketetapan hukum. Ibu tiga anak itu curiga Bambang memindahkan harta mereka kepada Mayangsari, penyanyi sintal yang kini menjadi istri kedua suaminya. Tentu Halimah takut seribuan hektare tanah yang tersebar di Jakarta, Purwakarta, Pulau Seribu, dan Bali, juga puluhan ribu lembar saham, belasan mobil, dan kapal, tiba-tiba lepas begitu saja.

Aparat bisa mulai dengan menilai harta milik Bambang. Majalah Time tahun 1999, misalnya, pernah menyebut Bambang Trihatmodjo memiliki duit Rp 1,8 triliun. Forbes, Desember 2007, menaksir pundi Bambang menyimpan Rp 2 triliun sekaligus mendapuk lelaki itu sebagai orang terkaya ke-33 di Indonesia. Dari mana hartanya bisa bertambah begitu hebat? Kenyataan ini bertentangan dengan pernyataan Keluarga Cendana, yang selalu membantah punya banyak banda.

Sulit mempercayai bahwa kekayaan Bambang diperolehnya dari bisnis yang ”normal-normal” saja. Sudah jadi rahasia umum, Keluarga Cendana mendapat banyak fasilitas dalam menjalankan usahanya. Bimantara, induk bisnis Bambang Trihatmodjo, didirikan pada 1981, tahun yang dipercaya banyak pengamat sebagai awal ”masa keemasan” kroni Soeharto.

Bimantara, misalnya, melalui Satelindo, adalah perusahaan pertama yang mendapat lisensi jaringan seluler GSM. Bambang pula yang paling dulu mendapat izin mendirikan stasiun televisi swasta di Indonesia. Bambang pernah memonopoli perdagangan jeruk di Kalimantan melalui PT Bima Citra—meski kemudian dilepas karena dikritik merugikan petani. Pada 1999, Bambang membeli 99 persen saham Bank Alfa—hanya dua pekan setelah Bank Andromeda miliknya dilikuidasi pemerintah. Tak seperti bankir lain yang masuk kategori ”orang tercela”—karena itu tak boleh memiliki atau memimpin bank—Bambang justru melenggang tanpa hambatan. Kala itu beredar kabar bahwa Bank Indonesia menutup Andromeda agar tidak muncul kesan bank sentral itu tebang pilih. Sebagai kompensasi, Bambang diberi kesempatan memiliki Bank Alfa. Catatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional pada 1999 menunjukkan Bambang Trihatmodjo adalah peminjam terbesar Bank Mandiri dengan nilai di atas Rp 20 triliun.

Fakta-fakta ini mestinya bisa membuat pemerintah bergerak. Kekayaan Keluarga Cendana harus diaudit dengan saksama untuk dipilah mana yang berasal dari kebijakan nepotis Soeharto dan mana yang bukan. Beslah terhadap harta Bambang harus dilakukan tak hanya untuk mencegah uang itu lari dari genggamannya, tapi lebih dari itu untuk diuji di pengadilan apakah dana berasal dari sumber yang legal atau haram.

Apa yang terjadi dengan fulus Tommy Soeharto di Bank Paribas cabang London tak boleh lagi terjadi. Ketika itu, tanpa banyak diketahui publik, pemerintah ”memulangkan” sekitar Rp 100 miliar duit Tommy yang dibekukan Paribas karena dicurigai merupakan bagian dari praktek pencucian uang. Mantan menteri Hamid Awaludin dan Yusril Ihza Mahendra ditengarai ”tahu banyak” skandal itu.

Tak boleh lagi kita dengar pemerintah menawarkan jalan damai di luar pengadilan kepada Keluarga Cendana seperti yang dilakukan Jaksa Agung Hendarman Supandji saat Soeharto masih sakit dulu. Gugatan perdata terhadap Soeharto yang kini diturunkan ke anak-anaknya harus dilanjutkan. Pemerintah harus percaya diri bahwa tanpa jalan damai pun mereka bisa menarik kembali uang yang disangka hasil penyalahgunaan kekuasaan itu. Penyelesaian di luar pengadilan, selain menghasilkan uang yang jumlahnya lebih kecil, juga tak secara tegas ”memastikan” Soeharto bersalah dalam perkara perdata itu.

Ikhtiar itu tentu membutuhkan napas tak pendek. Pemerintah Filipina menghabiskan 18 tahun untuk mengembalikan sebagian dana jarahan bekas presiden Ferdinand Marcos yang disimpan di pelbagai bank di Swiss.

Mengusut kasus Soeharto tak sesulit mencari jarum dalam tumpukan jerami—kalau mau dan punya niat. Harta gono-gini Bambang-Halimah hanya salah satu pintu masuk.

Tidak ada komentar: