Kamis, 14 Februari 2008

Cendana Pulang ke Beringin

SUMBER SINDO, Selasa, 12/02/2008


Sinyal itu datang juga.Keluarga Cendana yang dimotori Siti Hardiyanti Rukmana binti Soeharto akan kembali ke Partai Golkar. Pergerakan politik seperti ini sulit diduga ketika Soeharto masih hidup.

Sudah kadung diingat betapa Golkar telah menjadi ”Brutus”yang menaikkan dan menurunkan Soeharto pada akhir masa jabatannya.Dendam politik bisa berusia lama, bahkan cenderung berdarah pada era monarki. Tetapi dendam itu segera berakhir, seiring dengan koor pengampunan dan pemaafan atas kesalahan-kesalahan Soeharto. Definisi kesalahan Soeharto sebetulnya juga datang dari frase-frase politik yang dimasukkan ke dalam Tap MPR No XI/1998.

Kala itu mayoritas anggota MPR berasal dari Golkar. Sepuluh tahun menghadapi ”status tak berstatus”, kasus-kasus yang ditimpakan kepada Soeharto seperti hendak dikubur, seiring dengan pemakaman yang dipimpin langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pidato SBY atas Soeharto menunjukkan simpati dan empati yang dalam atas jasa-jasa yang sudah dibuat oleh Soeharto semasa hidupnya. Nyatanya Mbak Tutut lebih memberikan apresiasi kepada Partai Golkar. Bakti terakhir partai ini memang luar biasa.

Di samping menggerakkan kader-kader utama untuk memintakan permaafan dan pengampunan atas Soeharto,Partai Golkar juga berupaya menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional, sebagaimana sudah dibe-rikan kepada Ibu Tien Soeharto. Ba-rangkali sebuah jalan juga diberikan nama Jalan Soeharto, berikut patung megah, kalau perlu di jalanan yang paling padat kendaraan yang lewat.

Partai Tanpa Bapak

Selama sepuluh tahun terakhir ini Partai Golkar seperti kehilangan bapak. Pergantian kepemimpinan menghasilkan tokoh-tokoh luar Jawa,Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla. Dari sisi kultur politik, tokoh-tokoh itu lebih memainkan semangat egaliter dan terbuka.

Akbar,yang beristrikan orang Solo, telah menunjukkan pola kepemimpinan transisional yang menggabungkan otoritas dengan demokrasi.Hanya Akbar yang tidak berada di jalur eksekutif saat memimpin Partai Golkar. Pola Akbar itu tidak dilanjutkan oleh Kalla.Ketimbang melihat Partai Golkar muncul sebagai kekuatan oposisional di DPR,Kalla memajukan diri sebagai ketua umum dan menang atas dukungan elite-elite utama Partai Golkar.

Beringin kembali memasuki halaman Istana.Pengandaian bisa saja terjadi di sini,yakni duet SBY-Kalla akan mudah sekali goyang bila tidak ditopang oleh Fraksi Partai Golkar di DPR. Sungguhpun begitu,Partai Golkar tetap terlihat sedang mencari bapak. Dalam masyarakat tradisional dan transisional Indonesia yang bergulat dengan krisis, figur karismatis tetap diperlukan.Ini sebenarnya bukan khas Indonesia.

Tidak juga bisa dikatakan bahwa ini keadaan yang buruk.Tokoh pemersatu dalam tubuh partai politik untuk tingkat kemajemukan masyarakat yang tinggi juga terjadi di India, Pakistan,Thailand,Malaysia,Filipina, bahkan Amerika Serikat. Dari sisi ketiadaan bapak ini kematian Soeharto seolah memberikan pencerahan kepada keluarga Cendana dan keluarga Beringin untuk menyatukan diri yang dulu memang satu keluarga politik besar.

Pengaruh keluarga Cendana meningkat da-lam kancah politik dan pemerintahan pada pertengahan 1980-an.Mereka sudah mulai besar dan mengerti dengan urusan ekonomi.Dalam fase itu kesuksesan Soeharto dalam melakukan swasembada pangan juga menyeruak, termasuk peranan yang mulai meningkat secara regional dan internasional. Kalau jarum jam sejarah di balik, itulah saat yang tepat bagi Soeharto berhenti dari jabatannya sebagai presiden.Kita tahu,Soeharto tidak berhenti, tetapi melanjutkan kiprah kepresidenannya. Ketika anak-anak Soeharto makin besar,sejumlah benturan kepentingan menyeruak dan makin besar pada pertengahan 1990-an.

Meninggalnya sang buah hati, Ibu Tien, sebetulnya sudah memotong satu sayap Soeharto. Tetapi, ia pun makin terbelit kepentingan di sekelilingnya.Hanya dengan satu sayap,Soeharto diangkat lagi sebagai presiden pada 1998. Beban krisis multidimensional yang berat ternyata mematahkan sayap yang satunya lagi. Soeharto berhenti dengan tragis.

Tutut sebagai Simbol

Dibandingkan dengan anak-anak Soeharto yang lain,Tutut telah mendapatkan jalur politik yang lempang. Ia pernah mencetak banyak buku yang menceritakan kisah heroik ayahnya pada saat menduduki Yogyakarta.

Ia juga menyebarkan jutaan buku lain yang bercerita tentang Orde Baru.Bahkan seingat penulis, Mbak Tutut pernah mengatakan Orde Baru akan abadi, sesuatu yang menyalahi logika kesejarahan. Mbak Tutut kini menjadi simbol keluarga Cendana. Beringin yang telah menegaskan diri sebagai partai politik nomor satu dalam pemilu 2004, semakin hari semakin turun pesonanya, dilihat dari penanjakan suara PDIP yang dipimpin Megawati Soekarnoputri. Dibandingkan dengan Megawati, Mbak Tutut jelas sudah lebih berpengalaman di bidang politik dan pemerintahan, serta kegiatan- kegiatan sosial. Dulu, tidak ada yang yakin bahwa Mbak Mega akan mampu menjadi presiden dan simbol utama PDIP.

Kini, siapa yang yakin bahwa Mbak Tutut bisa seperti ayahnya? Roda kekuasaan seperti pedati. Bisa naik, bisa turun. Sepuluh tahu masa ”pemasungan” politik barangkali memberi bekal cukup bagi keluarga Cendana. Memang, terdapat PPKB yang didukung Mbak Tutut dalam Pemilu 2004.Namun, dukungan itu tidak terlalu meriah alias hanya menunjukkan perbedaan dengan partai-partai lain.Mbak Tutut paham mengulur waktu.Apalagi, kekuatan Cendana belum lengkap, mengingat Tommy Soeharto masih di penjara.

Pada perkembangan satu-dua pekan terakhir ini,terdapat dua skenario yang dilakukan keluarga Cendana. Pertama masuk ke semua parpol, terutama parpol besar. Ada usaha memasukkan Tommy ke PDIP,Titiek ke PKB,dan Tutut ke Partai Golkar.Kedua, karena yang memiliki talenta politik hanya Mbak Tutut, bisa jadi hanya dia yang aktif di politik.Keluarga Cendana yang lain akan sibuk dengan kegiatan ekonomi,sosial,atau budaya.

Soeharto tidak hanya mewariskan harta kekayaan yang banyak, melainkan juga kasus-kasus hukum. Kalau hanya sendirian, keluarga Cendana sulit menghadapi kasus-kasus itu. Beban tentu akan dibagi merata, termasuk lewat partai-partai politik. Sudah merupakan hal yang lumrah ketika orang-orang yang memiliki kasus tetap bertahan di parpol atau mendirikan parpol.

Pohon Beringin yang rindang, walau mulai berbagi lahan dengan PDIP dan Partai Demokrat, masih menyisakan tempat nyaman bagi Cendana. Dan kita akan saksikan,betapa akan banyak yang terusik kenyamanannya atau juga bertepuk tangan dengan bersemangat.(*)

Indra Jaya Piliang
Analis Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta

Tidak ada komentar: