Jumat, 15 Februari 2008

Melihat Pak Harto sebagai Paradoks

SINAR HARAPAN
14 JANUARI 2008


Oleh
Syafruddin Azhar

Pada suatu kesempatan, Vladimir Ilych Lenin (1870-1924) bertanya kepada seorang sahabatnya, Sigizmund Krzhizhanovsky (1887-1950): “Tahukah kau kebusukan terbesar itu?” Rekannya ini tidak menjawab. Maka jawab Lenin, “Yaitu berumur lebih dari 55 tahun.”
Lenin sendiri tak sampai mencapai “kebusukan” itu. Dia mati muda, 54 tahun. Setahun kurang untuk mencapai “kebusukan” itu. Namun sesuatu yang lebih busuk mulai merusak: belum lama jasad Lenin dibalsem di mausoleum, para wakilnya berebut kuasa.
Sejarah mencatat, persaingan keras dan kejam dalam memperebutkan kursi kekuasaan itu terjadi antara Gregory Zinoviev (1883-1936), Leon Trotsky (1879-1940), dan Joseph Stalin (1878-1953). Sejarah Uni Soviet membuktikan Stalin-lah yang memenangi persaingan itu, walaupun dalam salah satu “surat wasiat”-nya Lenin menyatakan bahwa “Stalin terlalu kasar”.
Belum lama berada di puncak kekuasaan, Stalin segera membersihkan lingkungannya dari musuh dan rival politik. Dia segera menyeret Zinoviev ke pengadilan bersama seluruh bekas pimpinan teras Partai Komunis semasa Lenin.
Ia pun mengasingkan rival utamanya, Trotsky, ke luar negeri dan membunuhnya di kemudian hari. Dan rakyat pun dikerahkan untuk berseru, “Tembak saja anjing-anjing gila itu!”
Di hari-hari terakhirnya, Stalin semakin parah dengan “penyakit” megalomania itu. Kepada stafnya yang berkunjung, dia kerap bertanya penuh selidik, “Kenapa hari ini kau selalu menghindari pandanganku?” Yang ditanya esok harinya bisa masuk bui.
Sejarah politik di sini, mungkin pernah mengalami situasi buruk seperti itu. Dulu, politik represif—menekan, mengekang, menahan, dan menindas—menjadi semacam momok mimpi buruk bagi para oposan atau mereka yang berseberangan (berbeda pendapat) dengan rezim. Orde Lama dan Orde Baru, konon, sama saja.
Soekarno dan Soeharto adalah “orang kuat” yang pernah memimpin negeri ini. Ada hitam dan putih di sana. Tentu saja kemelut, krisis, dan kekejaman politik di masa lalu itu tidak sama dengan yang terjadi di Uni Soviet era Stalin. Namun, di sini ada kelompok “Petisi 50”, seteru Soeharto. Dulu, ada pemberontak republik yang dimusuhi Soekarno.

Bapak Pembangunan
Bangsa ini pun pernah mengingat Soeharto dengan kebijakannya yang progresif: stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Dalam menggerakkan kebijakan itu, ada canda tawa dan isak tangis sebagai sebuah dampak sosial-politik. Sayangnya, terlalu banyak terdengar isak tangis jeritan daripada canda tawa riang. Lalu kita mengenang Soeharto sebagai “Bapak Pembangunan”.
Orangtua itu, kini telah senja di pembaringan. Orangtua itu, Haji Muhammad Soeharto tak lagi berada di singgasana. Pada 21 Mei 1998, ia mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden Republik Indonesia, dan menyerahkan jabatan itu kepada wakilnya, B.J. Habibie. Setelah tak lagi berkuasa, Pak Harto mulai dihujat dan didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi atas tujuh yayasan yang dipimpinnya. Orang kuat yang selama 32 tahun menjadi pusat “penghadapan” itu dituntut menghadap “kursi pesakitan” sebagai terdakwa.
Dulu, ketika rezim Orde Baru masih berkuasa (1967-1998), siapa pun yang menghadap Pak Harto, mereka selalu duduk teratur dengan kedua tangan disilangkan. Kadang-kadang para penghadap itu menunduk dan mencium tangannya. Di sini terlihat, Pak Harto adalah pengayom dan panutan.
Mereka menerima dengan rasa bangga. Orang-orang terdekatnya tak ada yang berani berkata aneh. Ketika menyaksikan di televisi detik-detik Pak Harto mengumumkan pengunduran dirinya, Amien Rais, tokoh yang berada bersama mahasiswa di ujung tombak gerakan reformasi (1998), tertegun dalam perasaan sentimentil.
“Ketika mencermati pengumuman Pak Harto berhenti menjadi presiden, 21 Mei 1998 lalu, saya lega dan bahagia, tetapi juga sedih dan terharu. Lega dan bahagia karena apa yang diperjuangkan mahasiswa bersama rakyat, akhirnya berhasil. Namun juga sedih dan terharu karena sebagai bangsa yang besar, kita telah mengulangi kesalahan sejarah dalam waktu yang sangat singkat, ” tulis Amien Rais di media massa.

Kebenaran yang Asing
Seorang perempuan Jawa yang santun, pernah berkata jujur. Ia tak kuasa menahan tangis haru ketika Pak Harto berhenti menjadi presiden. Di matanya, Pak Harto adalah sosok Jawa yang sempurna dalam mengendalikan rasa. Pak Harto adalah sebuah nasib tragis, juga paradoks. Pelajaran selalu ada di mana-mana. Tetapi, kesalahan juga selalu dihamparkan ke mana-mana. Seperti juga partai politik yang mati karena menelan dustanya sendiri.
Penyair Inggris, Lord Byron (1788-1828), dengan agak romantik bicara ihwal kebenaran. Katanya, “This is strange, but true, for truth is always strange.” Ini adalah asing, tetapi benar karena kebenaran itu selalu asing, katanya. Suatu gugatan terhadap kebenaran, bagaimana yang asing tetap kebenaran, dan karena itu kebenaran selalu asing. Setidaknya, kita mencoba memahami tentang kebenaran, yang di dalam kenyataan, bukan mustahil kebenaran itu sebagai sesuatu yang asing. Namun kendati asing, kita masih mujur bahwa kebenaran itu ada.
Kita barangkali ingin terlibat dalam diskursus persuasif, bahwa proses peradilan yang melibatkan Pak Harto perlu dilihat dari dua sisi mata uang yang berbeda. Ada kaitan antara keadilan, penegakan dan kepastian hukum dengan pemulihan ekonomi. Untuk menjalin komponen ini, dibutuhkan sikap kenegarawanan yang menempatkan kepentingan negara dan bangsa sebagai yang tertinggi.
Eratnya korelasi antara penegakan hukum dan pemulihan ekonomi ini pernah ditegaskan oleh sosiolog dan ahli ekonomi-politik Jerman, Max Weber (1864-1920). Kehidupan ekonomi menuntut terciptanya sistem hukum yang dapat memberikan prediktabilitas tinggi, sehingga dapat dimasukkan dalam perhitungan ekonomi. Penulis esai populer, “Die protestanische Ethik und der ‘Geist’ des Kapitalismus” (1904-1905) ini tak berharap terciptanya undang-undang (UU) dan peraturan hukum sebanyak-banyaknya. Ia lebih berharap, bagaimana peraturan yang ada itu capable sebagai alat penegakan hukum. Dengan kata lain, masih ada satu soal komplementer, yakni perilaku. Sebab UU dan peraturan hukum satu soal, perilaku—keseriusan dalam menegakkan hukum—soal lain lagi.
Kini, Pak Harto terbaring di RS Pertamina. Orang yang telah sepuh ini tampak tak berdaya, penuh dengan alat bantu medis di tubuhnya. Bagi bangsa ini, dilema proses peradilan perkara korupsi yang dituduhkan kepadanya merupakan sebuah paradoks politik. Kita, rasanya, perlu memperhalus nurani dalam melihat hitam putihnya.

Penulis adalah peneliti pada Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP)

Tidak ada komentar: