Selasa, 05 Februari 2008

Warisan sistem nilai dari Soeharto

Tanggal : 05 Feb 2008
Sumber : Harian Terbit

BERITA mantan Presiden Indonesia kedua, M Soeharto yang mendapat liputan, mulai sejak ia masuk rumah sakit hinga proses pemakaman, menunjukkan sepuluh tahun gerakan reformasi belum mampu menghapus pengaruh politik "Bapak Pembangunan" itu, bahkan serpihan kekuasaan simbolis Soeharto tetap tersebar di mana-mana.

Hal itu diungkapkan Amich Alhumami, mahasiswa doktoral Antropologi Sosial di Universitas Sussex Inggris dalam diskusi online mengenai "Warisan Sistem Nilai Soeharto" yang diselenggarakan Pengurus Muhammadiyah United Kingdom di Birmingham, akhir pekan lalu.

Dikatakannya, kekuasaan simbolis ini menjelma dalam berbagai ungkapan dalam konteks Soeharto yang terwujud seperti senyuman, bahasa tubuh, pangkat jenderal besar, bahkan sekadar frasa pendek "Keluarga Cendana".

"Kekuasaan simbolis ini menyimpan kekuatan pemaksa karena ia memiliki energi dahsyat yang bisa membuat orang lain bersedia tunduk-menyerah (submission) dan taat-mematuhi (obedience)," ujarnya.

Sementara itu mantan wartawan majalah Tempo dan wartawan BBC London, James Lapian mengakui bahwa media massa turut berperan dalam proses tersebut.

"Pada zaman Orde Baru, media banyak memuja-muja Soeharto. Saat ini ketika kebebasan pers sudah terjamin, keadaan tidak lebih baik lagi karena kepentingan ekonomi sekarang jauh lebih penting dari segalanya," ujarnya.

Hal ini juga diakibatkan karena wartawan saat ini dikejar-kejar berita. Sehingga orientasi mereka hanya konferensi pers. Konferensi pers menjadi sumber utama pemberitaan. Investigasi oleh media sangat langka, bahkan ketika dilakukan, malah berbalik menjadi bumerang.

Oleh karena itu, James agak pesimis bahwa media dapat memainkan peranan besar untuk mengungkap berbagai warisan pelanggaran HAM dan korupsi Soeharto (tidak sekefar kroninyar-red).

Syukur bahwa menjelang Hari Pers Nasional ada pihak yang mengingatkan peran pers Nasional. Konon wajah pers itu wajah masyarakat zamannya. Jika benar Pers Indonesia saat ini serba ewuh pakewuh (sungkan) terhadap pejabat, terutama jika mempersoalkan Soeharto, ada kemungkinan "kasus" Soeharto pun akan tidak jelas penyelesaiannya.

Sebab, peliputan besar-besaran bahkan dengan siaran langsung atas sakit hingga pemakamannya Soeharto merupakan pertanda ada yang memaafkan. Jika benar wajah Pers itu wakil profil kondisi masyarakat maka Pers hanya sekadar memotret fakta. Meski demikian apakah Pers kita menjadi tergerus perannya dalam kedudukannya sebagai juru kritik keadaan, nampaknya bisa jadi polemik panjang.

Di sisi lain, bangsa timur kebanyakan tidak suka mempersoalkan orang yang sudah meninggal, apalagi mereka yang terbiasa yang memegang falsafah mikul dhuwur mendhem jero, terlepas pernah atau tidaknya ikut numpang makmur. Bahwa sistem nilai yang diwariskan Soeharto masih begitu kuat menyelimuti sikap elite politik dan elit negeri, kita tahu jawabnya bahwa suatu isme akan sulit padam meski reformasi digelar gegap gempita.

Dari mimbar ini hanya ingin kita katakan bahwa idealisme pers untuk mengadakan kontrol sosial memang tak boleh padam. Yang dibutuhkan adalah semangat untuk tidak sekedar menjadi wajah masyarakat, tetapi menjadi pemandu zaman. Namun jelas ini peran yang berat jika anak bangsa negeri ini tidak ada kemauan untuk menjadi agen perubahan dinamika bangsa.

Yang kita tahu untuk menatap dan mengubah masa depan butuh kerelaan untuk meninggalkan masa lalu. Untuk itu yang lebih pas adalah bagaimana semua komponen bangsa menciptakan "tekad" baru setelah reformasi tak jelas arah dan jalannya. *

Tidak ada komentar: