Senin, 11 Februari 2008

Nasionalisme Pangan Pak Harto

Kenangan yang paling membekas pada saya tentang Pak Harto adalah penghargaan upakarti yang diberikan pada 1989 atas prestasi kami di Bukaka dalam membuat barang-barang yang dibutuhkan untuk mendukung kelancaran pembangunan seperti pompa angguk, mesin pembuat jalan raya, dan gangway untuk pesawat terbang.

Beliau sendiri yang memberikan nama Indonesia yang sangat bagus, yaitu garbarata. Penghargaan ini merupakan bentuk kepercayaan beliau terhadap orang muda. Jika diberi kesempatan, orang muda mampu berprestasi dan menghasilkan produk yang tidak kalah dengan buatan luar negeri.

Rasa bangga terhadap prestasi anak muda Indonesia tidak sebatas pada pemberian penghargaan, tetapi diikuti dengan kebijakan yang memberikan ruang yang leluasa untuk berprestasi melalui kompetensi. Untuk meningkatkan penggunaan produk yang sudah dapat dibuat di dalam negeri oleh putra-putra terbaik Indonesia, beliau mengangkat Ginanjar Kartasasmita sebagai Menteri Muda UPDN.

Kebijakan inilah yang kemudian melahirkan pengusaha-pengusaha tangguh tamatan perguruan tinggi yang mampu bersaing di kancah internasional seperti Arifin Panigoro melalui Medco, Aburizal Bakrie melalui Bakrie Brothers, Iman Taufik melalui Tri Patra, dan masih banyak lagi. Prestasi aksi dan prestasi hasil yang ditunjukkan oleh anak-anak muda menjadikan kami kerap diajak ngobrol santai untuk masalah yang serius. Beliau menekankan pentingnya visi pembangunan yang jelas dan operationable.Topik kesukaan beliau adalah pertanian.

Beliau tahu dengan detail masalah pertanian dan merupakan obsesinya untuk menjadikan petani Indonesia makmur dan mampu menikmati hasil pembangunan. Mayoritas masyarakat Indonesia adalah petani yang berkategori peasant, yaitu yang hanya berorientasi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sendiri (petani subsisten) bukan farmer, petani yang berorientasi komersial. Meski demikian, petani Indonesia merupakan soko guru sejati pembangunan.

Mereka memiliki tugas mulia menyediakan produk pangan dengan harga terjangkau agar semua lapisan masyarakat dapat mudah mengakses sumber pangan. Nasihat Pak Harto yang terus kami ingat adalah jangan lupakan petani karena jasa merekalah maka kita yang hidup di kota menjadi lebih nyaman.

Untuk membangkitkan kepercayaan masyarakat pada awal pemerintahannya, langkah darurat yang diambil adalah membuka keran impor beras dan mencari bantuan luar negeri untuk impor beras. Setelah kepercayaan diraih, stabilitas teraih. Pak Harto mulai melakukan revitalisasi sektor pertanian dan mendirikan Bulog sebagai penyangga harga beras agar terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.

Pada awal 1970-an, ketika minyak dijadikan senjata diplomasi oleh negara-negara Timur Tengah dalam menekan Amerika dan Eropa agar lebih fair dalam menjalankan kebijakan politik luar negerinya di Timur Tengah, Indonesia kebagian rezeki minyak akibat kenaikan harga yang cukup signifikan. Rezeki minyak ini dimanfaatkan dengan saksama oleh Pak Harto untuk membangun sektor pertanian.

Sepanjang 1970-an hingga 1980-an dilakukan investasi besar-besaran untuk infrastruktur pertanian. Sejumlah waduk, bendungan, dan irigasi dibangun. Bendungan Karang Kates di Jawa Timur, Waduk Mrica, Gajah Mungkur dan Kedung Ombo di Jawa Tengah, Bendungan Riam Kanan dan Riam Kiwo di Kalimantan, Bendungan Asahan di Sumatra, jalan-jalan pedesaan diperbaiki, juga program listrik masuk desa.

Selain itu, diperkenalkan manajemen usaha tani, dimulai dari Panca Usaha Tani, Bimas, Operasi Khusus, dan Intensifikasi Khusus yang terbukti mampu meningkatkan produksi pangan, terutama beras. Budi daya padi di Indonesia adalah yang terbaik di Asia. Pemerintah memfasilitasi ketersediaan benih unggul, pupuk, pestisida melalui subsidi yang terkontrol dengan baik. Pabrik pupuk dibangun.

Petro Kimia Gresik di Gresik, Pupuk Sriwijaya di Palembang, dan Asean Aceh Fertilizer di Aceh. Langkah pembangunan pertanian yang dilakukan Pak Harto dikenal dengan nama "revolusi hijau". Dari revolusi hijau ini dihasilkan peningkatan produksi beras secara besar-besaran. Produksi beras nasional praktis dapat memenuhi permintaan dalam negeri.

Pada puncaknya, pada 1984 Indonesia berhasil meraih surplus produksi beras. Bahkan, dapat membantu Afrika yang kala itu sedang dilanda kelaparan. Di saat yang sama, pemerintah berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat di pedesaan dan memperkecil tingkat ketimpangan antarmasyarakat desa dan kota di Indonesia walau pada saat yang sama ada penurunan tingkat harga produk pertanian.

Prestasi aksi dan prestasi hasil di bidang pembangunan pertanian telah mengantarkan Pak Harto mendapatkan penghargaan dari FAO pada 21 Juli 1986 di Roma. Ini adalah magnum opus Pak Harto yang sulit ditandingi. Setelah Pak Harto menarik diri dari pemerintahan, terjadi titik balik dalam prestasi pengelolaan pangan. Sejak akhir 2006, harga beras mulai merangkak naik.

Belakangan minyak goreng dan kacang kedelai sebagai bahan baku tempe naik lebih dari dua kali lipat. Ketahanan pangan kita demikian rapuh karena petani tidak diberi insentif yang menjamin keberlangsungan usahanya. Lebih ironis lagi karena euforia reformasi, jabatan penyuluh pertanian oleh beberapa pemerintah daerah dihapuskan. Kalau begitu jangan heran bila kita sekarang sulit menaikkan produktivitas pertanian.

Kita masih belum terlambat merevitalisasi sektor pertanian. Pemberdayaan petani melalui pendekatan budaya wirausaha adalah sebuah keharusan. Ini dilakukan dengan penguatan SDM petani melalui pelatihan dan bimbingan yang berkesinambungan. Selain itu, perlu sertifikasi aset petani agar bankable.

Ini akan membantu penguatan modal petani. Semangat swadaya petani perlu dibangkitkan. Titik masuknya adalah melalui dana bergulir yang dipertanggungjawabkan secara tanggung renteng. Jika ini dilakukan, impian Pak Harto menjadikan petani makmur dan bermartabat adalah suatu keniscayaan. Selamat jalan, Pak Harto. Semoga mendapat kemuliaan di sisi Allah. (*)

Fadel Muhammad
Gubernur Gorontalo

Tidak ada komentar: