Jumat, 15 Februari 2008

Soeharto dan Teknologi

REPUBLIKA
Jumat, 01 Februari 2008


Triharyo Soesilo
Direktur Utama Rekayasa Industri

Salah satu kriteria kesuksesan seorang pemimpin bangsa adalah melihat keberhasilannya dalam mengembangkan teknologi di negeri yang ia pimpin. Presiden Kennedy pada 25 Mei 1961 di depan anggota kongres dan senat Amerika Serikat mencanangkan untuk mendaratkan seorang manusia di bulan dan mengembalikannya ke bumi sebelum dekade 1960-an berakhir.

Tantangan ini dicapai oleh AS pada 20 Juli 1969 yang diwakili seorang astronot bernama Neil Armstrong. Walaupun pencapaian ini tidak mampu disaksikan Kennedy yang tertembak di Kota Dallas, Texas, pada 22 November 1963, sejarah tetap mengakui space race (balapan ke bulan) dicanangkan oleh Kennedy tahun 1961.

Presiden Ronald Reagan pada 23 Maret 1983 juga membuat sejarah dengan mencanangkan strategi baru untuk meningkatkan pertahanan terhadap serangan peluru kendali bermuatan nuklir. Strategi ini sering dijuluki Star Wars yang intinya meningkatkan teknologi untuk menembak jatuh peluru kendali Rusia yang sedang terbang menuju AS.

Di dunia berkembang, kita mengenal Presiden Brasil Luiz Incio da Silva (Lula) yang dilantik pada 2003. Sejarah membuktikan berkat dorongannya pengembangan industri bioetanol dari produk sampingan gula di Brasil menjadi semakin maju. Ia memberikan keringanan pajak bagi mobil dengan bahan bakar etanol. Pada 2004 jumlah mobil flex fuel yang hanya 17 persen waktu itu meningkat menjadi 53,6 persen tahun 2007.

Soeharto sebagai anak petani pada awal kepemimpinannya memusatkan perhatian pada pembangunan pertanian. Ia kembangkan teknologi intensifikasi dan ekstensifikasi.

Karena umumnya petani tak puas jika tidak ditunjukkan bukti, Soeharto mengembangkan lahan percontohan. Ia mempunyai lahan penelitian di Tapos untuk mencoba teknologi pertanian dan peternakan. Dia juga menerapkan teknologi informasi penyuluhan dan bimbingan yang disebut intensifikasi massal (inmas) dan bimbingan massal (bimas). Program penyuluhan menggunakan teknologi radio dan televisi, seperti temu wicara program kelompencapir, dikembangkan.

Indonesia bisa melipatgandakan produk beras. Indonesia pada 1969 hanya memproduksi 12,2 juta ton beras. Lalu, dengan teknologi baru pada 1984 mencapai produksi 25,8 juta ton.

Pada 14 November 1985 Mr Edouard Saouma, dirjen FAO, memberikan penghargaan kepadanya. Soeharto terus mencari teknologi untuk meningkatkan produktivitas. Dia mendorong pemakaian pupuk yang lebih besar ukurannya sehingga lebih hemat (pupuk briket). Namun, program ini terhenti karena berbagai kepentingan pribadi keluarga Soeharto.

Lalu, bagaimana kepiawaian Soeharto dalam merangkul dan mengembangkan teknologi di luar teknologi pertanian, misalnya di bidang industri? Di sinilah peran Soeharto terlihat tidak fokus. Dia mengembangkannya secara lebar (broad-based strategy).

Awalnya pengembangan teknologi industri diarahkan pada substitusi impor. Seluruh pengembangan untuk memproduksi produk secara mandiri. Pada era 1970-an sebagian besar pabrik dibangun oleh teknolog asing untuk menghasilkan produk substitusi impor.

Kilang Dumai yang dibangun oleh kontraktor Jepang Ishikawajima Harima Industries Co diresmikan tanggal 8 September 1971, Kilang Sei Pakning yang dibangun Refican Ltd (Refining Associates Canada Limited) dialihkan ke Pertamina pada September 1975. Kilang minyak Cilacap yang dibangun oleh Fluor, AS, diresmikan tahun 1977, pabrik pupuk Kujang, dan pabrik pupuk Pusri yang juga dibangun oleh perusahaan AS, Kellogg, adalah berbagai industri yang dibangun untuk melakukan substitusi impor. Namun, pembangunan pabrik maupun kilangnya dilakukan oleh kontraktor asing.

Menjelang 1980-an, setelah melihat cadangan minyak dan gas mulai menurun, mulailah Soeharto mengembangkan program pembangunan kemandirian industri dalam negeri, tidak hanya untuk melakukan substitusi impor. Tujuan utamanya untuk meningkatkan produk ekspor nonmigas.

Soeharto tetap menerapkan broad-based strategy dengan berbagai regulasi. Keputusan Presiden yang mensyaratkan kandungan lokal pada semua tender pemerintah dikeluarkan. Keppres ini pada awalnya diterapkan dan dikendalikan oleh Mensesneg Soedharmono dan kemudian dilanjutkan oleh Menko Ekkuwasbang Hartarto dan Saleh Afif.

Untuk setiap tender pemerintah waktu itu, semua kontraktor harus menghadap ke kantor Sekretariat Negara. Pada era ini dibentuk departemen baru yang mengurus peningkatan penggunaan produksi dalam negeri yang antara lain dijabat oleh Ginandjar Kartasasmita. Pada era inilah tumbuh berbagai industri dalam negeri dan perusahaan nasional. Mereka mendapatkan kesempatan membangun dan memproduksi produk dalam negeri.

Contohnya, kelompok Bakrie memperoleh preferensi mengembangkan industri perpipaan, kelompok Bukaka mendapat kesempatan untuk membangun industri belalai pesawat terbang dan pompa angguk, kelompok Arifin Panigoro mendapat kesempatan membangun industri transmisi listrik.

Lalu, ada PT Rekayasa Industri mendapatkan kesempatan untuk membangun pabrik pupuk, PT Inti Karya Persada Teknik mengembangkan kemampuan membangun pabrik LNG, PT Tripatra Engineers mendapat kesempatan membangun fasilitas pengolahan gas alam. Juga ada industri strategis, seperti PT Dirgantara Indonesia, PT Inti, PT Pindad, dan PT PAL.

Salah satu hal yang patut disayangkan adalah fokus industri pada pengolahan produk pertanian yang disarankan oleh para ekonom saat itu tidak digubris oleh Soeharto. Karena kepiawaian Habibie, Soeharto lebih memilih teknologi tinggi (high-technology) industri pesawat terbang ketimbang teknologi pengolahan industri agro pascapanen.

Industri penggilingan padi menjadi tidak terintegrasi. Industri gula tidak efisien. Industri produk oleokimia yang merupakan produk hilir kelapa sawit tidak mendapat perhatian.

Sejarah membuktikan kebijakan meninggalkan teknologi pascapanen produk pertanian adalah kesalahan utama Soeharto di bidang teknologi. Ini yang membuat Indonesia saat ini belum memiliki keunggulan industri pengolahan produk pertanian.

Indonesia sebuah negara yang mempunyai keunggulan lintasan matahari yang sangat panjang di khatulistiwa. Salah satu keunggulan kompetitif dibanding negara lain adalah cuaca yang baik dan juga energi matahari sangat berlimpah.

Pada awal pemerintahannya, Soeharto menyadari itu dengan menerapkan berbagai teknologi untuk mendorong swasembada produk beras. Namun, pada akhir masa kepemimpinannya, Soeharto melupakan keunggulan ini dan terpukau pada teknologi tinggi yang bahan bakunya tidak tersedia di Indonesia. Itulah catatan sejarah Soeharto di bidang teknologi hingga kita bernasib seperti sekarang ini.

Tidak ada komentar: