Jumat, 15 Februari 2008

Soeharto sebagai Militer

SINAR HARAPAN
28 JANURAI 2008

Oleh
Daud Sinjal

Posisi Jenderal Purnawirawan Soeharto sejak 1978 sudah menjadi mantap dan tak tergoyahkan. Sidang umum MPR di Bulan Maret tahun itu telah menetapkan Soeharto untuk meneruskan jabatan kepresidenannya pada periode ketiga, dan masih membekalinya dengan wewenang penuh untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk menyelamatkan Pancasila dan pembangunan nasional. Perlawanan terakhir dari gerakan penentangnya, yang center of gravity-nya di ITB Bandung sudah ditumpas sejak 1 Februari 1978.
Memang masih ada kelompok kelompok dissident seperti Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) TNI, Lembaga Kesadaran Berkonstitusi, dan Petisi 50. Mereka secara terbuka terus mengingatkan Soeharto untuk menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen serta tidak mempersonifikasi Pancasila sebagai dirinya pribadi.
Tapi, kendati para concerned citizen itu banyak yang mantan komandan tentara, kegiatan mereka itu tidak punya kekuatan dan tidak memberi dampak pada kedudukan Soeharto karena “di luar aturan main yang konstitusional dan institusional”. Lagi pula, ABRI sudah terintegrasi, dan panglima, para kepala staf angkatan dan kepala kepolisian sudah berikrar mendukung kepemimpinan Soeharto.
Tapi, di luar gerakan moral yang berbicara terbuka itu, banyak pula pihak yang mengutuk di belakang punggung Soeharto. Mereka adalah para keluarga korban yang terbunuh dalam operasi pemulihan keamanan dan ketertiban, atau mereka yang dipenjara atas berbagai tuduhan, mulai dari keterlibatan dengan PKI, gerakan subversi, separatisme yang mengancam kestabilan dan merongrong kewibawaan pemerintah, sampai kriminal yang non-idelogis dan a-politis.
Ada juga yang gemar “ngrasani” Pak Harto. Dan kebanyakan dari mereka itu juga adalah para purnawirawan jenderal. Mereka menggunjingkan Soeharto dengan nada merendahkan dan mengecilkan kepemimpinannya.
Sesama mantan pejuang kemerdekaan yang sinis ini sempat “makan sekolahan”—di MULO, AMS, dan HBS. Mereka banyak membaca buku dan karenanya merasa lebih tahu, “HBA” (has been abroad), berbahasa Indonesia yang baik dan benar, serta lancar bercakap-cakap dalam bahasa Belanda atau Inggris.
Mereka melihat Pak Harto sebagai hanya sekolah “ongko loro”, cuma lulusan sekolah calon prajurit (kaderschool) KNIL Gombong, tidak membaca buku strategi perang, apalagi berpengetahuan sosial politik. Bahasa Belandanya tidak bagus, dan dalam pidato resminya, Soeharto sering mengucapkan kata dan frase “daripada”, “semangkin”, dan “sudah barang tamtu”, yang jelas-jelas menyalahi kaidah bahasa Indonesia.

Kelebihan Soeharto sebagai Militer
Tapi tidak semua orang dari kalangan elite perwira yang pandai-pandai itu punya negative thinking terhadap Soeharto. Sebagai wartawan yang meliput bidang Hankam, saya sering bertemu dan mengobrol dengan perwira-perwira, baik yang suka menggerutu maupun yang memandang Soeharto secara lebih objektif.
Oleh karena yang menggunjingkannya adalah kalangan militer, perwira-perwira yang lebih gentleman itu membandingkan kelebihan Pak Harto sebagai militer dengan para jenderal yang merasa dirinya pintar itu. Dari sisi militer, Soeharto harus dinilai keberhasilannya yang menentukan di empat titik persimpangan jalannya sejarah RI.
Pertama, sekalipun dirinya diragukan sebagai pencetus ide serangan umum atas Yogyakarta pada 1 Maret 1949, tapi pelaksanaan serangan itu jelas terletak di tangan Soeharto. Keberhasilannnya menggariskan strategi dan taktik yang jitu, serta kepemimpinannya memimpin operasi mengagetkan Belanda dan menyadarkan dunia internasional tentang masih tegaknya TNI dan RI. Pihak Belanda sendiri mengakui kebolehan dari serangan Letkol Soeharto ke Yogyakarta tersebut. Serangan Yogyakarta mempengaruhi jalannya perang diplomasi dan memaksa Belanda menyelesaikan permasalahannya dengan RI melalui perundingan.
Persimpangan yang kedua adalah pada 1 Oktober 1965. Apa yang akan terjadi dalam sejarah RI kalau ketika itu Mayjen Soeharto, sebagai Panglima Kostrad, tidak segera bertindak menangkal usaha kudeta dan memulihkan keamanan dan ketertiban.
Ketiga, ia adalah satu-satunya panglima militer di Indonesia yang pernah memimpin kekuatan tentara terbesar setelah Perang Dunia II. Sebagai Panglima Komando Mandala perebutan Irian Barat, dari Januari sampai Agustus 1962, ia mengonsentrasikan satu korps tentara berkekuatan sampai 200.000 prajurit, serta menyiapkan operasi gabungan dari keempat angkatan, darat, laut, udara, dan kepolisian, juga sukarelawan. Operasi yang diberi nama Jayawijaya ini memang tidak terjadi karena keburu tercapai kesepakatan damai dengan Belanda di New York.
Bagaimanapun, Panglima Kostrad merangkap Panglima Wilayah Indonesia Timur itu sempat membawahi segenap arsenal ABRI yang cukup modern masa itu, ada 120 kapal mulai dari penjelajah berat, kapal perusak, kapal selam, sampai kapal angkut. Ada puluhan pesawat tempur, terdiri dari pengebom strategis Tupolev -16 dan 16 KS, penyergap MIG 17 dan 21, Ilyushin. Ditambah pula kapal dan pesawat Pelni dan Garuda serta awaknya yang dimiliterkan. Ia mengontrol mandala perang yang terentang mulai dari Utara di Moroati, sampai Selatan di Kupang. Kepadanya juga di bawah-komandokan (BKO) pangkalan udara utama (Lanuma) Halim PK, Lanud Madiun dan Malang, serta pangkalan armada di Surabaya. Pangkalan penyerangannya terpusat di Teluk Peleng, Banggai Kepulauan.

Operasi Khusus ke Malaysia
Kalau mau ditambahkan, masih sebagai Panglima Kostrad, merangkap Panglima Mandala Darat Siaga (dalam rangka Dwikora–mengganyang Malaysia), ia mengendalikan “operasi khusus“ untuk menghentikan konfrontasi dengan Malaysia. Operasi intelijen ini cukup rumit, karena PM Malaysia Tengku Abdulrahman Putra dan Presiden RI Sukarno saat itu masih dalam suasanan “marahan”.
Di Jakarta, Soeharto berhasil mem-fait-accompli Sukarno untuk berdamai lagi dengan Malaysia. Di Kuala Lumpur, Wakil PM Tun Razak berhasil membujuk Tengku Abdulrahman untuk rujuk dengan Indonesia. Kerukunan kembali dua bangsa serumpun itu menjadi ancang-ancang bagi pembentukan perhimpunan bangsa bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Siapa di antara jenderal-jenderal yang meragukan Soeharto yang punya prestasi secara militer yang melebihi atau sekurangnya sama seperti yang ditunjukkan oleh Soeharto. Jenderal Yani dikenal cuma ketika menyelesaikan PRRI di Sumatera Barat, Kawilarang jadi berita ketika berhasil mengatasi situasi di Medan, Makassar, dan Jawa Barat (saat operasi tahap I terhadap DI/TII).
Panglima Siliwangi Ibrahim Adjie berhasil memimpin divisinya menyelesaikan pemberontakan Andi Selle, Kahar Muzakkar, Suomokil, dan Kartosuwiryo. Tapi empat operasi yang dijalankan Soeharto di atas adalah menentukan jalannya sejarah RI. Dan kesemua keberhasilan itu dilakukannya ketika ia masih murni sebagai militer profesional.
Soeharto boleh jadi bukan pemikir, dia cuma mengandalkan insting. Tapi begitu ia memegang komando dan harus melaksanakannya, dia melakukannya dengan lugas dan tuntas. Ketika ia berkuasa ia menjalankan kekuasaannya itu tanpa bimbang dan ragu. Soegeng Sarjadi, pengamat politik, pembawa acara perbincangan di TV, pernah bertamu pada Soeharto setelah beliau lengser. Kepada Soegeng, Pak Harto bilang: “Kekuasaan itu untuk dipergunakan dan dijalankan, bukan untuk dibagi-bagi”.n

Tidak ada komentar: