Rabu, 06 Februari 2008

Sekolah Soeharto Membaik Setelah Dititipkan ke Sang Paman

Salah satu tonggak perubahan hidup masa kecil almarhum Soeharto adalah saat dirinya dititipkan ke paman dan bibinya yang mempunyai penghidupan lebih baik. Hal ini tertuang dalam buku otobiograsi Soeharto, Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya.

Dalam buku tulisan G Dwipayana dan Ramadhan KH ini, Soeharto menuturkan kisah hidupnya selama bersama paman dan bibinya yang bertempat tinggal jauh dari orangtuanya di Kemusuk, Godean, Yogyakarta. Berikut nukilan salah satu bagian yang bercerita masa kecil Soeharto:

Yang mengiang di telinga saya sampai sekarang ialah ucapan ayah saya waktu beliau menyerahkan saya kepada paman dan bibi saya : "Saya menyerahkan Soeharto kepadamu. Silahkan asuh. Saya kuatir, kalau dia terus tinggal di Kemusuk, dia tidak akan menjadi orang. Saya sangat bersyukur jika anak ini memperoleh pendidikan dan bimbingan yang baik."

Ini sangat mengandung arti, memberikan gambaran apa yang ada pada orang tua saya.

Dan bersyukurlah saya, bahwa Pak Prawirowihardjo dan bibi saya menerima saya sebagai anaknya sendiri. Saya dianggapnya sebagai putranya yang tertua dan diberlakukan sama dengan putra-putranya sendiri, seperti Sulardi. Maka di tempat ini saaya disekolahkan dan mendapat pendidikan lebih baik daripada sewaktu di Kemusuk. Saya menekuni semua pelajaran, lebih-lebih pelajaran berhitung yang saya sukai, yang menyebabkan saya mendapat pujian dari guru. Di samping itu saya mendapat pendidikan agama yang cukup kuat, karena keluarga paman saya itu terbilang tebal ketaatannya kepada agama.
Tetapi baru satu tahun tinggal pada keluarga Pak Prawirowihardjo, ayah tiri saya, Pak Atmopawiro, bersama kakaknya, Pak Sumowijatmo dan kakak iparnya, Pak Sastroharjono, datang menjenguk saya yang sudah lama tidak dilihatnya. Dikatakannya ibu saya sangat rindu kepada saya, dan dijanjikannya saya akan dikembalikannya seetelah Lebaran, waktu sekolah dibuka lagi. Tetapi ternyata janjinya itu tidak dipenuhinya dan akibatnya saya mesti tinggal lama di Kemusuk dan di sekolahkan di desa Tiwir. Setahun kemudian saya dijemput lagi oleh Bapak dan Ibu Prawirowihardjo dan bisa kembali tinggal dan sekolah di Wuryantoro.

Dalam pada itu terasa latar belakang kehidupan saya di Kemusuk tumbuh menyubur selama saya menetap di Wuryantoro. Pengalaman di Kemusuk di tengah-tengah kaum tani, di tahun-tahun sembilan belas dua puluhan yang sedang sulit itu, menanamkan dalam diri saya benih-benih ini dipupuk bukan saja oleh hubungan saya yang berlanjut dengan kehidupan petani, tetapi juga dihidupkan oleh pengetahuan dan pengalaman yang saya peroleh di bidang pertanian di bawah bimbingan Pak Mantri Tani Prawirowihardjo. Saya sering menyertai paman saya itu dalam peninjauannya ke pelbagai tempat.

Dan Pak Prawirowihardjo bukan saja memberikan pengetahuan di bidang pertanian secara teoretis kepada saya, melainkan juga lewat praktek. Di tiga kebun percontohan yang saya ingat, yang ditekuni oleh Pak Prawirowihardjo, yakni yang di desa Ngungkring, Kenongo, dan Tangkil, saya diberi kesempatan untuk menggumuli tanah yang jadi kecintaan saya. Di samping itu saya mendengarkan tanya jawab antara Pak Prawirowihardjo dengan para petani yang memberikan tambahan pengetahuan kepada asaya.

Saya kagum kepada Pak Prawirowihardjo. Beliau sungguh-sungguh menekuni tugasnya sebagai mantri tani. Terbukti pula dengan penghargaan yang diterimanya dari bupati, berkat keberhasilannya memanfaatkan tumbuhan orok-orok sebagai pupuk untuk menyuburkan tanah gersang. Kebun percontohan di Tangkil yang mulanya sangat tandus, dari waktu ke waktu mendapat kemajuan.

Ketekunan dan kreativitas Pak Prawiro itu memberikan inspirasi kepada saya. Semangat saya dijadikannya hidup. Maka sewaktu diadakan semacam adu kemahiran membuat perladangan, saya bisa mengalahkan putra-putra Pak Prawiro. Berambang dan bawang putih tanaman saya ternyata dinilai paling baik.



Sore hari saya belajar mengaji di Langgar. Sering-sering saya semalam suntuk berada di langgar itu dengan teman-teman sepengajian.



Pada waktu itu pula, saya masuk kepanduan Hizbul Wathan, pramuka sebutannya sekarang, yang berdasarkan keagamaan.



Pada masa itu pula saya mulai mengenal pahlawan-pahlawan kita, melihat potret Raden Ajeng Kartini, mendapatkan guntingan potret Pangeran Diponegoro dari sebuah koran yang sampai di desa kami.



Keprihatinan hidup yang saya alami, pendidikan keluarga yang menjunjung tinggi warisan nenek moyang, pendidikan kebangsaan sewaktu di sekolah lanjutan rendah, pendidikan agama waktu mengaji, rasanya besar pengaruhnya dalam pembentukan watak saya. Saya juga diberi latihan spriritual oleh ayah angkat saya seperti puasa tiap Senin dan Kamis dan tidur di tritisan ( dibawah ujung atap di luar rumah). Semua anjurannya saya kerjakan dengan tekun dan penuh keyakinan.. Ada satu anjuran yang belum saya kerjakan, yaitu tidur di pawuhan, di tempat bekas bakaran sampah.



Pada masa itu saya ditempa mmengenal dan menyerap budipekerti dan filsafat hidup yang berlaku di lingkungan saya. Mengenai agama dan tata cara hidup Jawa. Pada masa itulah saya mengenal ajaran tiga"aja", "aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh", (jangan kagetan, jangan heran, jangan mentang-mentang), yang kelak jadi pegangan hidup saya, yang jadi penegak diri saya dalam menghadapi soal-soal yang bisa mengguncangkan diri saya.



Saya ingat terus akan ajaran leluhur,"hormat kalawan Gusti, Guru, Ratu lan wong atuwo karo", hormat kepada Tuhan Yang Maha Esa, guru, pemerintah, dan kedua orang tua. Sampai jadi Presiden saya merasa tidak berubah dalam hal ini. Saya junjung tinggi ajaran itu dan saya percaya akan kebenarannya.



Saya merasakan mencintai dan dicintai orang-orang tua saya, pengasuh-pengasuh saya, dan saudara-saudara saya, baik yang seibu maupun yang sebapak atau saudara angkat saya.

Pada waktu itu saya tahu bahwa Wedana Wuryantoro adalah RM. Sumoharjomo, dan ada seorang putrinya, Siti Hartinah yang satu kelas dengan Sulardi. Saya mesti menyebutkan nama anak Wedana ini, sebab saya menemukannya lagi kelak sewaktu saya sudah dewasa, cukup untuk membentuk keluarga.

Setelah menamatkan sekolah rendah lima tahun, saya dimasukkan sekolah lanjutan rendah (schakel school) di Wonogiri. Untuk ini saya pindah rumah ke Selogiri, 6 Km dari Wonogiri, bersama-sama dengan Sulardi dan tinggal di rumah kakak perempuan yang menjadi istri pegawai pertanian*).

Pengetahuan pertanian saya berlanjut di Selogiri itu. Sudiarto kakak Sulardi, juga tinggal bersama di Selogiri itu. Semasa itu Sulardi- yang sudah dibelikan sepeda oleh kakaknya, Sudiarto- dan saya suka bergoncengan naik sepeda ke sekolah, atau ke Kemusuk di hari-hari libur, menengok orang tua.

Terhitung sudah agak tua waktu saya disunat, yakni pada umur 14 tahun. Mungkin sebabnya Cuma karena tidak gampang mengumpulkan biaya. Dan begitu pun selamatan yang diadakan amat sederhana saja. Namun bagaimanapun, rasanya saya merasa gembira. Dan memang saya mesti bersyukur.

Sesuai dengan percakapan orang tua, setelah saya disunat, rasanya badan saya cepat menjadi tinggi dan kekar, tumbuh jadi besar. Padahal apa yang disediakan untuk saya tetap sama. Makanan yang tersedia tidak bertambah.

Kehidupan keluarga Citratani yang retak, menyebabkan kemudian saya mesti pindah ke Wonogiri dan tinggal pada keluarga teman ayah saya, seorang pensiunan pegawai kereta api, Pak Hardjowijono.

Keluarga Pak Hardjowijono tidak punya anak. Saya jadi tangan kanan mereka dalam membantu ini dan itu di rumahnya. Saya membersihkan rumah sebelum pergi ke sekolah. Saya disuruh belanja ke pasar dan menjual hasil kerajinan tangan Ibu Hardjo. Dan bahkan saya suka-suka harus memasak pada sore hari atau kalau sedang tidak bersekolah. Tetapi mengenal hal itu saya tidak mengeluh. Saya mendapat didikan yang bermanfaat, sangat bermanfaat di rumah Pak Hardjowijono. Saya jadi pekerja, jadi tukang yang akan bisa berdiri sendiri jika keadaan memaksa. Dan rasa-rasanya bisa belajar dengan cepat melakukan hal-hal itu.

Pada suatu waktu saya mendapat perhatian dari seorang pemilik warung yang biasa menerima hasil kerajinan tangan Ibu Hardjo untuk dijualkan. Pemilik warung itu mengajak saya untuk tinggal di rumahnya dan membantunya. Tetapi saya tahu diri, saya merasa tidak patut meninggalkan keluarga Pak Hardjowijono begitu saja, walaupun ada harapan yang lebih cerah jika ikut dengan pemilik warung itu. Dan saya ingat kepada ayah saya, yang menitipkan saya kepada Pak Hardjo. Saya tidak bisa melangkahi ayah saya. Di samping itu, saya mendapat kesenangan khusus bersama Pak Hardjo. Ia adalah seorang pangikut Kiai Darjatmo yang setia. Kiai Darjatmo itu mubalig terkenal di Wonogiri waktu itu. Malahan ia suka mengobati orang sakit dan dipercaya orang banyak dalam hal meramal.

Saya masih bisa membayangkan keramahan Kiai Darjatmo yang juga opzichter irigasi. Apabila Pak Hardjo berkunjung kepada Kiai Darjatmo itu, saya suka dibawanya dan diizinkan mendengarkan tanya jawab mengenai agama antara kedua orang tua itu. Saya jadi bisa meresapkan ajaran filsafat hidup Pak Kiai Darjatmo itu. Saya mendengarkan penjelasannya mengenai isi kitab suci Al-Qur`an. Saya mendapatkan pengertian mengenai apa itu samadi dan apa itu kebatinan.

Banyak orang terpikat oleh Pak Kiai Darjatmo yang alim, jujur, dan tidak suka melihat kecurangan berlaku disekitarnya itu. Tidak berapa lama setelah kemerdekaan, Pak Darjatmo terpilih menjadi anggota Komite Nasional Indonesia (KNI) di Wonogiri dan dipercaya untuk memimpin di bidang kerohanian dalam perjuangan menghadapi Belanda di waktu-waktu sesudah itu. Orang inilah pula yang sering saya kunjungi waktu saya menjadi komandan resimen di Salatiga.

Saya merasa tertarik oleh cara kiai Darjatmo itu dalam menjelaskan dan mengajar orang. Minat saya besar untuk sering mendengarkan Pak Kiai itu bicara mengenai filsafat hidup. Rasa-rasanya Pak Kiai Darjatmo itu pun tertarik kepada saya. Maka kemudian, dengan seizin Pak Hardjo, saya diizinkan kadang-kadang datang sendiri ke rumah Kiai Harjatmo yang letaknya tidak berjauhan dengan tempat tinggal Pak Harjo. Di langgar Kiai Darjatmo inilah saya banyak belajar mengenai agama dan kepercayaan. Saya mendengarkan secara langsung nasihat-nasihat yang diberikan oleh Kiai Darjatmo pada mereka yang memerlukan, orang-orang terpelajar, pedagang, pegawai, maupun petani sampai bakul-bakul.

Tidak ada komentar: