Selasa, 05 Februari 2008

Menakar Kejahatan dan Kebaikan Soeharto



Musni Umar, Sosiolog, PhD Bidang Sosiologi Politik UKM
Tidak ada manusia yang sempurna. Pasti ada kebaikan dan kejahatannya. Begitu pula Presiden Soeharto, pasti banyak kebaikannya selama berkuasa, dan tentu banyak pula kejahatannya. Untuk memastikan Presiden Soeharto itu orang jahat atau orang baik, tidak bisa hanya melihat dan membincangkan salah satu sisi dari dirinya. Mesti meneliti keseluruhan dari kiprahnya selama memimpin bangsa Indonesia 32 tahun lamanya.

Dalam bidang politik kekuasaan, sebagai seorang aktivis mahasiswa 77/78 yang pernah ditahan sembilan bulan tanpa diadili, setelah keluar dari tahanan mendapat perlakuan tidak adil karena dicekal di mana-mana, dimata-matai, dan sulit mendapat pekerjaan, sehingga mengalami kepahitan dan kesulitan hidup.

Begitu pula teman-teman aktivis mahasiswa 1974 dan tokoh pergerakan yang ditahan dan dipenjara seperti Dr Syahrir, Dr Adnan Buyung Nasution, Hariman Siregar, Judil Herry Justam. Juga para aktivis dan pimpinan dewan mahasiswa/senat mahasiswa 1978, tokoh-kampus dan tokoh masyarakat yang ditahan seperti Soekotjo Soeparto, Dr Rizal Ramli, AM Fatwa, Dr Arief Rachman, Lopez Da Lopez, Ibrahim Zakir, Musfihin Dahlan, Umar Marasabessy, Evert Matulessy , dan lain-lain, serta para tokoh masyarakat yang ditahan dan dimasukkan ke penjara seperti Ir Sanusi, Prof Ismail Suny, HR Soedarsono, dan banyak lagi yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semuanya atau sebagian pasti menyimpulkan bahwa Soeharto jahat dan pantas diberi hukuman yang setimpal.

Di bidang politik ekonomi, kebijakannya yang memberi angin dan perlindungan kepada pengusaha Cina dengan menempatkan mereka sebagai ''agent of growth" dalam pembangunan ekonomi, amat menyakitkan karena mengakibatkan terjadinya konglomerasi dan penguasaan ekonomi oleh segelintir orang. Padahal mereka atau orangtua mereka adalah mitra penjajah dan mendapat tempat terhormat sebagai "Timur Asing" di masa penjajahan. Sementara pribumi sebagai inlander yang dijajah, diperangi, disiksa, dibunuh, dan yang hidup dibiarkan bodoh, miskin dan terkebelakang, seharusnya mendapat ''affirmative action" dalam pembangunan ekonomi seperti di Malaysia, untuk memajukan mereka di bidang ekonomi dan pendidikan. Akan tetapi hal itu tidak dilakukan Presiden Soeharto.

Kebijakan ekonomi yang merugikan sebagian besar warga bangsa ini, sebenarnya dapat dikategorikan sebagai kejahatan ekonomi, dan selayaknya tidak dilanjutkan dengan mengamalkan persaingan bebas (free fight competition) kepada pengusaha pribumi yang kecil menengah dan koperasi seperti sekarang ini.

Di bidang politik hukum, korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) yang dipraktikkan di era Presiden Soeharto berkuasa, kemudian dijadikan isu sentral oleh gerakan reformasi yang disponsori oleh kekuatan global untuk menggusur Presiden Soeharto, harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya dan secepat-cepatnya. Bukan saja menyelesaikan tuduhan itu dengan cepat dan adil, tetapi tidak boleh melanjutkan praktik korupsi di era Orde Reformasi. Namun amat menyedihkan, kejahatan korupsi yang dituduhkan kepada Presiden Soeharto diambangkan dan ditutup-tutupi, dan bahkan korupsi semakin semarak dilaksanakan di era Orde Reformasi. Sampai ada yang menggambarkan dahsyatnya dan beraninya pelaku korupsi sekarang dengan mengatakan: ''Kalau di era Orde Lama korupsi malu-malu, di era Orde Baru korupsi di bawah meja, di era Orde Reformasi korupsi di atas meja dan bahkan mejanya dikorupsi''. Kejahatan korupsi yang dituduhkan kepada Presiden Soeharto, kini telah menjadi isu internasional yang amat mencemarkan nama baik Soeharto, keluarganya serta bangsa Indonesia karena mantan Presiden Indonesia itu dituduh sebagai koruptor nomor wahid di dunia.

Kebaikan dan jasa Soeharto
Prof Emil Salim dalam "Soeharto Media Center Pusat Kajian dan Informasi" menegaskan bahwa Soeharto pernah berjasa menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran. Pertama, bidang ekonomi. Laju inflasi menjelang peristiwa G-30-S/PKI bisa dibilang edan karena berada di kisaran 650 persen. Indeks biaya hidup tahun 1960 sampai tahun 1966, naik 438 kali! Harga beras naik 824 kali! Harga tekstil naik 717 kali! Sementara harga-harga itu mengganas, nilai rupiah sekarat dari Rp 160 saja menjadi Rp 120 ribu.

Melalui program rehabilitasi dan stabilisasi ekonomi yang cukup progresif dan komprehensif berhasil dilakukan, pertama, pengendalian inflasi melalui kebijakan anggaran berimbang, dan kebijakan moneter ketat. Kedua, pencukupan kebutuhan pangan. Ketiga, pencukupan kebutuhan sandang. Keempat, rehabilitasi berbagai sarana dan prasarana ekonomi. Kelima, peningkatan ekspor dengan mengembalikan share sepenuhnya pada eksportir. Hasilnya, laju inflasi bisa dijinakkan dari kisaran 650 persen (1966) melunak menjadi 100 persen (1967), turun lagi menjadi 50 persen (1968), dan bahkan terkendali di bilangan 13 persen (1969).

Kedua, bidang politik. Presiden Soeharto berjasa menumpas PKI dan mewujudkan stabilitas keamanan dan politik dalam kurun waktu yang panjang. Emil Salim mengakui bahwa di era 60-70an Pak Harto begitu piawai memadukan komponen bangsa, sampai-sampai republik ini bisa selamat dari liang kubur di pertengahan tahun 60-an. Frans Seda menilai bahwa pada awal-awalnya, pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto bisa dikatakan sebagai pemerintahan demokratis, terbuka, transparan, dan komunikatif. Selanjutnya Frans Seda berpendapat, ''Memang setelah anak-anaknya (Soeharto) gede, kebijakan ekonomi jadi bias. Setelah merasa memperoleh personalized power, Pak Harto memborong semua sejarah. Seolah-olah, keberhasilan pemerintahan Orde Baru adalah berkat strateginya sendiri.''

Ketiga, bidang sosial. Presiden Soeharto berjasa pula dalam pemberian bantuan sosial. Dia mendirikan puluhan yayasan, mengumpulkan dana dan mengalokasikan kepada kegiatan sosial. Yayasan-yayasan yang didirikan di antaranya, Yayasan Trikora untuk membantu beasiswa bagi anak-anak yatim yang orang tuanya gugur dalam perang merebut Irian Barat, Yayasan Dwikora untuk memberikan bantuan beasiswa kepada anak-anak yatim korban konfrontasi dengan Malaysia, Yayasan Seroja untuk memberikan beasiswa kepada anak-anak yatim yang orang tuanya gugur dalam perang di Timor Timur, Yayasan Supersemar untuk memberikan beasiswa kepada anak-anak cerdas yang orang tuanya tidak mampu untuk mengikuti pendidikan S1, S2 dan S3 di berbagai universitas. Selain itu, Presiden Soeharto mendirikan pula Yayasan Harapan Kita yang kemudian mendirikan Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila untuk membantu pembangunan masjid, dan banyak lagi yayasan yang didirikan Presiden Soeharto. Berbagai yayasan yang didirikan itu jelas untuk kepentingan sosial, maka sangat tidak masuk akal dan bersifat politis kalau pendirian puluhan yayasan itu dituduhkan untuk memperkaya diri sendiri dan kemudian dijadikan sebagai entry point untuk menjeratnya melakukan perbuatan korupsi.
Ketiga, berjasa menyelamatkan bangsa ini dari pertumpahan darah. Saadillah Mursyid mengungkapkan pada detik-detik terakhir ketika mendampingi Pak Haro sebagai Presiden Republik Indonesia sebelum menyatakan berhenti dari jabatan sebagai Presiden RI., Pak Harto mengatakan, ''Segala usaha untuk menyelamatkan bangsa dan negara telah kita lakukan. Tetapi Tuhan rupanya berkehendak lain. Saya tidak mau terjadi pertumpahan darah.'' Padahal kalau Pak Harto mau melakukan tindakan tegas dan keras terhadap para demonstran seperti rezim militer di Miyanmar, kekuasaannya bisa terselamatkan karena TNI semuanya tetap loyal dan mendukung kepemimpinan beliau. Begitu pula Golkar sebagai partai pendukung pemerintah dan single majority di parlemen, masih kukuh mendukungnya. Akan tetapi, Pak Harto tidak mau menggunakan kekuasaannya untuk bertahan dengan menumpas para mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa.



Belajar dari kegagalan dan kesuksesan
Bangsa yang besar ialah bangsa yang dapat belajar dari sejarah, agar tidak mengulangi kesalahan serupa. Bangsa Indonesia bisa belajar banyak dari kegagalan dan kesuksesan Presiden Soeharto selama memimpin bangsa Indonesia. Pertama, kegagalan dalam membangun pemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintah yang bersih (good government). Kegagalan itu tidak boleh dilanjutkan. Akan tetapi, amat menyedihkan justru hal itu diamalkan dan bahkan dikembang-biakkan, sehingga korupsi semakin merajalela di era Orde reformasi. Kedua, kegagalan dalam membangun ekonomi yang berpihak kepada rakyat banyak. Kegagalan ini seharusnya menjadi pelajaran, tetapi anehnya sistem ekonomi yang sudah gagal menyejahterakan seluruh rakyat, masih diteruskan bahkan semakin diliberalkan. Ketiga, kegagalan dalam penegakan hukum. Pemerintah Presiden Soeharto lemah dalam penegakan hukum, seharusnya menjadi pelajaran, tetapi hal itu tidak juga dijadikan pelajaran oleh para pemimpin bangsa ini di era Orde Reformasi. Adapun kesuksesan Presiden Soeharto yang sangat penting dan patut ditiru dan dikembangkan di antaranya ialah kemampuan mewujudkan swasembada pangan, stabilitas harga sembilan bahan pokok, kesehatan masyarakat, stabilitas sosial, politik dan pertahanan keamanan. Berbagai kesuksesan itu tidak diteruskan dan dikembangkan, karena pada awal Orde Reformasi muncul stigma buruk terhadap Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto.

Pada saat Presiden Soeharto sakit dan banyak dikunjungi para pejabat dan mantan pejabat, dan diliput media nasional dan internasional, kita kembali sadar dan membuka mata ternyata masih banyak yang menghormati belaiu. Itu semua karena kebaikannya lebih banyak dibanding kejahatannya di masa berkuasa. Wallahu a'lam. (RioL)

Tidak ada komentar: