Rabu, 06 Februari 2008

Soeharto dan Falsafah Mikul Dhuwur Mendhem Jero

Salah satu falsalah yang sering disampaikan almarhum Soeharto kepada para seniornya atau orang yang dituakan adalah sikapnya untuk menerapkan sikap "mikul dhuwur, mendhem jero."

Falsalah ini ditulis dalam buku otobiografi Suharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya; Berikut nukilan lengkapnya:

Di saat demonstrasi mahasiswa mewarnai suasana Jakarta, di Istana Merdeka saya mengadakan dialog dengan Bung Karno. Itu menyambung pembicaraan mengenai situasi dan mengenai PKI. Saya berkeyakinan bahwa pikiran Bung Karno mengenai jalan keluar kurang tepat. Saya terus berusaha supaya beliau mengerti dan menyadari perubahan yang telah terjadi. Sampai akhirnya rupanya beliau bertanya-tanya, mengapa saya tidak patuh kepadanya.

Sewaktu kami berdua, Bung Karno bertanya dalam Bahasa Jawa, di tengah-tengah suasana Jakarta, "Harto, jane aku iki arep kok apakake ?" (Harto, sebenarnya aku ini akan kamu apakan ?) Aku ini pemimpinmu." Saya memberikan jawaban dengaan satu ungkapan yang khas berakar pada latar belakang kehidupan saya.

"Bapak Presiden," jawab Saya, "Saya ini anak petani miskin. Tetapi ayah saya setiap kali mengingatkan saya untuk selalu menghormati orang tua. Saya selalu diingatkannya agar dapat mikul dhuwur mendhem jero (memikul setinggi-tingginya, memendam sedalam-dalamnya; menghormati) terhadap orang tua."

Dengan jawaban itu saya bermaksud dan bertujuan seperti kudangan ayah saya kepada saya. Orang tua saya, sekalipun petani, orang kecil, orang yang tidak mendapatkan pendidikan formal, mempunyai kudangan terhadap anaknya, mempunyai cita-cita mengenai anaknya, yakni agar saya ini menjadi anak yang bisa mikul dhuwur mendhem jero pada orang tua. Saya pun mempunyai keyakinan, bahwa pegangan hidup seperti itu adalah benar, dan tepat sekali.

"Saya ingat, waktu itu kita masih sama-sama naik sepeda ke Desa Beji dan Semin," kata Kamin. "Di dekat sekolah sepeda kita tidak bisa lagi kita naiki, karena kedua desa itu merupakan pegunungan. Sepeda kita titipkan di rumah janda sebelah utara sekolah. Terus kita berdua jalan kaki ke desa itu. Di perempatan desa yang nanjak, Pak Harto berkata, "Kalau pekerjaan begini terus, saya tidak sanggup, berat sekali, saya besok tidak masuk lagi, Min."

Mendengar cerita Kamin begitu langsung saya berkata : "Sudah.... sudah.... saya ingat." Dan saya kenang masa remaja itu dengan rasa yang mendalam.

Kamin bercerita lagi, dia pernah mimpi bertemu dengan singa besar. Dan ternyata ia dipanggil oleh Presiden, katanya. Kami tertawa-tawa dalam ngobrol bersama Kamin dan Kamsiri lebih dari satu jam lamanya itu. Bisa dimengerti, bahwa Kamsiri merasa bangga melihat bekas murid mengajinya menjadi Presiden negeri ini. Kamsiri pernah juga bercerita mengenai teman yang lainnya, Kang loso, yang jadi buta ketika berjuang dan keadaannya sangat memprihatinkan.

Kang Warikun lain lagi ceritanya. Ia masih ingat, ia selalu mengajak teman-temannya membantu saya mengisi bak air dari sumur. Ceritanya begini :"Mereka senang main sepak bola, tetapi kalai tidak dengan saya kurang senang, merasa gothang (kurang lengkap), lebih-lebih bila pertandingan antar desa. Sedang saya punya pekerjaan, dilatih disiplin oleh ayah saya. Tidak boleh main sore bila bak mandi belum penuh. Maka Warikum dan teman-temannya ini yang membantu. Setelah pekerjaan selesai, baru kami main bola."

Yang saya tangkap dari ucapan mereka juga, adalah bahwa mereka sama sekali tidak kecewa mengenai nasibnya masing-masing. Mereka mengatakan,"Setiap orang memiliki nasibnya sendiri. Kita sebagai manusia kan saderma nglakoni (sekedar menjalani)."

Mengenai Istana, saya pikir, Istana Presiden bukan untuk Presiden saja. Gedung itu adalah Istana Negara, Istana Kepala Negara, milik rakyat.

Saya tidak mengadakan perubahan besar di gedung itu. Tetapi memang saya perintahkan untuk mengatur isinya dan iklimnya sedemikian rupa sehingga benar-benar representatif sebagai Istana. Istri saya sangat teliti dalam mengaturnya.

Belakangan ini diadakan acara-acara yang terbuka sifatnya, yang bisa dilihat oleh orang banyak. Dengan begitu dimaksudkan, supaya rakyat merasa dekat. Pembelian cenderamata untuk keperluan Presiden dibeli oleh Rumah Tangga Kepresidenan yang ditunjang oleh anggaran.

Kalau ada yang kita terima dari negara sahabat, maka saya tetapkan itu menjadi milik negara. Dan semuanya itu diinventarisasikan, dicatat, kecuali yang tidak disa disimpan, seperti makan, atai minuman.

Barang-barang berharga, semuanya disimpan di museum khusus di Istana yang jadi tempat menyimpan cenderamata yang kita terima dan menggambarkan keseluruhan dari daerah mana dan negara mana.

(//sjn)

Tidak ada komentar: