Selasa, 05 Februari 2008

Hubungan Pak Harto dengan Tanda-tanda Alam

Oleh : Lilie Suratminto
Entah sejak kapan orang Jawa mulai gemar memperhatikan dan menghubungkan tanda-tanda alam dengan peristiwa-peristiwa penting atau perilaku manusia baik secara spesifik maupun secara umum. Kebiasaan demikian juga ada pada beberapa etnik di Indonesia dan bangsa-bangsa lain di dunia. Coba kita perhatikan, beberapa hari sebelum Pak Harto masuk rumah sakit telah terjadi banjir besar Bengawan Solo yang memorakporandakan daerah Ngawi, Tuban, Bojonegoro, Lamongan dan lain-lain.

Selama Pak Harto sakit, mass media asyik menyiarkan kondisi Pak Harto detik demi detik, menit demi menit secara rinci mulai detak jantung, kadar haemoglobin, jumlah cairan yang harus disedot dari tubuh Pak Harto dan lain-lain. Sementara itu keadaan para korban musibah banjir Solo dan lain-lain dikesampingkan atau diberitakan ala kadarnya. Demikian juga berita tentang kesulitan ekonomi rakyat termasuk antrean minyak tanah di mana-mana hampir luput dari pantauan. Semua perhatian jelas hanya tertuju pada orang nomor satu di Indonesia tersebut. Pada saat yang bersamaan langit tiba-tiba seperti ditutup.

Di Jakarta bahkan beberapa tempat di Indonesia hujan tidak turun sama sekali selama itu. Pada waktu itu kebetulan saya berkunjung ke beberapa tempat di Sulawesi Utara, terus ke Bali dan singgah di Makasar dan terakhir ke Malang dalam rangka meneliti warisan budaya kolonial. Pada siang hari teriknya bukan alang kepalang. Banyak orang mengatakan, selama Pak Harto masih sakit hujan tidak akan turun. Nanti kalau pak Harto wafat, pasti hujan dan malahan akan terjadi banjir besar.

Sebagai seorang akademikus yang selalu berpikir logis saya kurang yakin mengenai hal itu. Bukankah ini karena adanya global warming yang baru-baru ini ramai diperdebatkan di Denpasar oleh wakil-wakil dari seluruh dunia? Masa iya sih, sebegitu besarnya hubungan alam dengan orang nomor satu di Indonesia itu?

Pada hari Jumat minggu lalu sekitar jam satu siang, saya kebetulan sedang menemani tamu saya dari Radio Nederland Wereld Omroep makan siang di sebuah rumah makan di Jl. Sabang. Tiba-tiba cuaca berubah menjadi gelap. Langit mendung pekat. Jam menunjukkan pukul 13.20. Sementara makan saya mendapat SMS dari teman yang mengatakan bahwa Pak Harto telah wafat pada jam 13.10. Inna lillahi wa ina ilaihi rojiun.

Semua mata pengunjung di restoran itu lantas tertuju pada layar TV yang menayangkan berita duka tersebut. Saya kemudian mengantar tamu saya ke hotel Cemara yang letaknya tidak jauh dari rumah makan tersebut. Sebentar kemudian hujan turun. Aneh sekali, ternyata pernyataan orang-orang benar juga. Kabarnya di Depok hujan turun sangat deras juga. Mudah-mudahan tidak ada banjir seperti yang dikatakan orang.

Hari Jumat kemarin (tanggal 1 Februari 2008) saya tidak dapat keluar rumah karena hujan sangat lebat. Jalanan penuh dengan air. Saya mendengarkan radio, ternyata hujan lebat tidak henti-hentinya dan merata di seluruh Jakarta-Tangerang dan Bekasi. Buntut dari hujan tersebut adalah meluapnya air di perumahan penduduk. Ini bukan banjir kiriman dari Bogor seperti biasanya, warga di Jakarta diberitahu sebelumnya bahwa ketinggian air di Katulampa dan Depok sangat tinggi dan diperkirakan banjir akan merendam beberapa tempat di Jakarta. Banjir kemarin itu akibat curah hujan yang tinggi dan mengakibatkan banjir yang sangat besar yang melanda tempat-tempat pusat kegiatan perekonomian di Jalan Thamrin dan Jalan Jenderal Sudirman.

Menurut perhitungan Jawa, kemarin adalah hari ketujuh wafatnya Pak Harto. Dan memang malamnya Metro TV menayangkan siaran live "Selamat Jalan Pak Harto" dalam peringatan hari ke tujuh berupa tahlilan langsung dari Istana Kalitan Solo dan dari rumah Pak Harto di jalan Cendana. Metro TV dalam acara ini mewawancarai mBak Tutut puteri Pak Harto tertua dan I Gusti Nyoman Sueden ajudan pribadi Pak Harto yang sangat setia menemani Pak Harto sampai saat-saat terakhir beliau di RS Pertamina Jakarta. Beberapa kali Pak Harto dalam pidatonya mengingatkan bangsa Indonesia untuk pandai-pandai membaca zaman dan dalam keputusan-keputusannya yang menyangkut harkat hidup orang banyak beliau selalu mengatakan bahwa keputusannya itu adalah pilihan buruk dari yang terburuk. Artinya kita harus legowo atau rela menerimanya.

Pada saat Pak Harto wafat, saya teringat kembali ke masa sekitar 43 tahun yang lalu beberapa saat sebelum Pak Harto namanya melejit di seluruh Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Pada waktu itu telah terjadi suatu tanda alam yang tidak pernah saya lupakan, yaitu munculnya bintang kemukus atau bintang berekor yang panjangnya hampir sepertiga langit dengan pangkalnya di ufuk timur dan ujungnya melengkung ke arah selatan. Bintang kemukus ini warnanya seperti asap putih terang di atas langit yang jernih. Bintang itu muncul hampir selama satu bulan dan hampir setiap pagi sekitar jam tiga saya pergi ke tanah lapang bersama banyak orang untuk menyaksikan terbitnya bintang berekor tersebut.

Kadang saya menyaksikan sampai bintang tersebut pudar karena munculnya sang surya pagi. Munculnya bintang berekor ini telah mengilhami Akhmad Tohari dalam karya novel triloginya yang sangat terkenal Ronggeng Dukuh Paruk. Pada waktu itu saya masih duduk di kelas dua SMP. Saya mendengar dari orang-orang dewasa dan orang tua bahwa di negeri kita akan terjadi sesuatu yang luar biasa. Ada yang bilang bahwa akan ada orang besar turun jabatan.

Keadaan tiba-tiba berubah. Penduduk kota Kudus tempat kelahiran saya yang tenang itu tiba-tiba menjadi onar. Banyak orang yang ditangkapi dan dimasukkan tahanan tanpa diproses secara hukum. Banyak di antara mereka yang kemudian dipulangkan dan tidak lama kemudian mereka banyak yang meninggal. Entah siksa apa yang telah mereka jalani dalam tahanan, karena mereka pada umumnya diam dan tidak seorang pun berani bertanya, karena mereka takut terlibat. Kata orang mereka tersangkut partai terlarang. Kawan-kawan saya yang aktif di organisasi IPPI (ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) juga tidak boleh sekolah lagi. Mereka diskors. Seorang kawan saya yang piawai dalam menari Gambir Anom juga tidak boleh masuk sekolah karena ia telah ikut menari dalam rangka meramaikan ulang tahun Pemuda Rakyat di kota kami, padahal dia itu anggota GSNI.

Kami sebagai anak kecil yang tidak tahu apa-apa menjadi kebingungan. Kejadian yang sangat memilukan adalah saat guru kami yang pada waktu itu sedang mengajar kami di kelas tiba-tiba didatangi tentara berbaju loreng dan beliau digelandang masuk ke dalam mobil pickup. Terus dibawa pergi entah ke mana. Kami semua menangis meraung-raung karena kehilangan guru yang sangat kami sayangi. Sampai kini saya tidak tahu bagaimana nasib bapak guru saya itu.

Pada saat kacau itulah muncul nama Soeharto yang dalam selebaran yang ditempelkan di papan pengumuman dinyatakan bahwa beliau diberi wewenang oleh Bung Karno sebagai Panglima Komando untuk pemulihan kemanan. Sejak saat itu kami semua di sekolah memakai seragam mirip militer lengkap dengan emblem (badge) bertuliskan KOJARSENA atau Korps Pelajar Serba Guna. Sebagai pelajaran ekstra kurikuler kami belajar baris-berbaris. Beberapa di antara kami bahkan dilatih baris-berbaris dan kedisiplinan oleh tentara di lapangan KODIM. Sungguh, suatu kenangan yang tidak terlupakan oleh kami semua.

Dekat menjelang lengsernya Pak Harto tahun 1998, telah terjadi kekeringan di mana-mana. Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika Indonesia dilanda gelombang El Nino. Telah terjadi kebakaran hutan di mana-mana. Hujan tidak kunjung datang bahkan sampai bulan Januari-Februari 1998. Di mana-mana terjadi demo mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah. Mereka menuntut diadakannya reformasi di segala bidang. Korban Trisakti berjatuhan. Alam sepertinya ikut mendukung suasana hingar-bingar menjadi bertambah panas dengan tidak menurunkan hujan. Kebakaran hutan dan kebakaran lagi lagi. Panas.

Saya kembali teringat bintang kemukus lagi yang ujungnya melengkung ke arah kanan seperti bumerang. Dalam statistik, mungkin sama dengan bentuk garis kurva menurun, apakah itu menandakan bahwa pamor Pak Harto sudah mulai menurun.
Hampir selama tiga puluh dua tahun Pak Harto memegang tampuk kekuasaan di Indonesia.

Apakah ini kunci jawaban dari makna yang tersirat dari tanda-tanda alam berupa bintang kemukus yang penuh misteri itu yang panjangnya sepertiga langit, sama dengan kekuasaan Pak Harto yang lamanya sepertiga abad. Suatu masa pemerintahan di bumi Nusantara yang paling lama, yang tidak pernah terjadi sebelumnya dan mudah-mudahan tidak terjadi di masa yang akan datang. Pada masa VOC gubernur jenderal yang paling lama memegang kekuasaan adalah Gubernur-Jenderal Maetsuycker yang memerintah selama 25 tahun (1653-1678). Gubernur-gubernur jenderal yang lain hanya memerintah satu atau dua periode saja. Satu periode berlangsung selama empat tahun. Banyak di antara gubernur-jenderal VOC yang justru meninggal saat sedang menjabat. Mungkin karena mereka kerja terlalu keras atau oleh sebab lain.

Apa yang saya kemukakan di atas itu hanyalah pengamatan saya mengenai tanda alam yang dipandang sebagai tanda dan hubungan tanda tersebut dengan perilaku manusia, dalam hal ini Pak Harto yang kemudian memegang tampuk pemerintahan sebagai orang nomor satu di Indonesia. Makna dari hubungan tersebut diperoleh melalui proses semiosis atau proses pemaknaan. Proses pemaknaan ini saya pinjam dari teori semiotiknya Charles Sanders Peirce yang adalah seorang semiotikawan dan ahli filsafat logika dari Amerika (1839-1914).

Representamen berupa tanda-tanda alam mempunyai hubungan dengan kognitif manusia berupa objek dan menghasilkan interpretan berupa makna yang terkandung dari kedua hubungan tersebut. Memang tidak ada hubungan langsung antara representamen dan interpretan. Dalam proses semiosis ketiga unsur ini tidak dapat dipisahkan. Kalau kita berbicara mengenai tanda, hubungan antar tanda dan makna tanda, rasanya tidak akan ada habis-habisnya, selalu menarik, oleh karena itu saya akhiri uraian saya sampai di sini. Terima kasih atas perhatiannya.

Sumber image: atelier-ojan.de

Tidak ada komentar: