Selasa, 05 Februari 2008

Setelah masa berkabung

Tanggal : 04 Feb 2008
Sumber : Harian Terbit

SEMINGGU sudah berlalu, hari ini seluruh anggota masyarakat yang mengibarkan bendera merah-putih setengah tiang, tanda berkabung nasional, telah menurunkan benderanya. Melipat lalu menyimpannya dengan segala kenangan atas almarhum Jenderal Besar HM Soeharto.

Memang banyak kenangan indah bersama beliau yang ada dibenak bangsa ini, utamanya bagi kaum tani Indonesia. Di era Orde, para petani benar-benar merasa 'diuwongke', ekonomi pedesaan bergerak dengan pasti -- hingga minat banyak orang melakukan urbanisasi yang sebelumnya menimbulkan banyak masalah di daerah perkotaan pun bisa diminimilisir.

Benarlah ungkapkan pakar ekonomi pertanian, DR HS Dillon, era Soeharto adalah era dimana kemudahan didapat oleh para petani. Memang begitu kenyataannya, Pak Harto sangat peduli betul dengan namanya ketahanan pangan. Tak ada petani yang tersisih karena kebijakan pemerintah.

Sejarah mencatat, ketika Indonesia berusia 20 tahun dan relatif muda, negeri ini diguncang konflik politik dengan puncaknya pemberontakan G 30 S/PKI, salah satu penyebabnya adalah faktor kemiskinan dan kelangkaan pangan.

Maka Pak Harto yang menjadi presiden RI pada waktu itu, mengawali masa-masa pemerintahannya dengan bertumpu pada sektor agraria dan mengeluarkan berbagai kebijakan yang mengarah pada revolusi pangan. Puncaknya, tahun 1984 Indonesia dinyatakan mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan beras atau mencapai swasembada pangan.

Organisasi Pangan Dunia (FAO) pun mengundang Soeharto untuk menerima penghargaan atas prestasinya. Ini adalah salah satu prestasi besar yang pernah diterima Soeharto di kancah internasional. Sebagai wujud rasa syukurnya, Soeharto pun juga membawa buah tangan, yaitu gabah sebanyak 100.000 ton yang dikumpulkan secara gotongroyong dan sukarela oleh petani Indonesia untuk diteruskan kepada warga yang mengalami kelaparan di berbagai belahan dunia, khususnya di Afrika.

Bantuan antar petani ini merupakan sejarah yang pertama kali terjadi di dunia, sekaligus merupakan indikasi, keberhasilan pertanian saat itu di Indonesia. Prestasi itu membalik kenyataan, dari negara agraria mengimpor beras terbesar di dunia, menjadi negara yang mampu mencukupi kebutuhan pangan di dalam negeri. Pada tahun 1969 Indonesia hanya mampu memproduksi beras sekitar 12,2 juta ton, namun tahun 1984 bisa mencapai 25,8 juta ton.

Sistem pengairan diperbaiki dengan membuat irigasi ke sawah-sawah sehingga banyak sawah yang semula hanya mengandalkan air hujan, kini bisa ditanami pada musim kemarau dengan memanfaatkan sistem pengairan. Lahan-lahan percontohan pun dibangun, kelompok petani dibentuk di setiap desa untuk mengikuti bimbingan dari para penyuluh pertanian yang disebut Intensifikasi massal (Inmas) dan Bimbingan massal (Bimas).

Keberhasilan ini telah membuat Edouard Saouma, Direktur Jenderal FAO, mengundang Presiden Soeharto untuk bicara pada forum dunia, pada tanggal 14 November 1985.

Namun pasca keberhasilan ini sebagaimana diungkapkan Prof Emil Salim, Soeharto salah mempercayai pembantunya. Hingga kebijakan ekonomi selanjutnya juga salah arah. Dari seharusnya industri berbasis pertanian, ke industri padat modal dan teknologi.

Beliau yang sudah tua renta, pun salah menerima tantangan pembantunya yang mengatakan, rakyat banyak masih membutuhkan kepemimpinan beliau. Padahal beliau jauh-jauh hari sudah ingin lenser menyerahkan tongkat estafet kepada yang lebih muda.

Ya nasi telah menjadi bubur, Bapak Pembangunan itu pun telah pergi menghadap Sang Maha Pencipta, Maha Penguasa di alam jagat raya ini. Bagi kita yang ditinggalkan kasus kepemimpinan Pak Harto adalah bahan renungan yang tak akan ada habisnya. Hal-hal yang baik tentunya banyak yang bisa kita pelajari dari perjalanan kepemimpinannya hampir selama 32 tahun. *

Tidak ada komentar: