Kamis, 14 Februari 2008

Mega dan Rekonsiliasi Nasional


Tanggal : 09 Feb 2008
Sumber : Harian Terbit


Oleh TB Januar Soemawinata

WAFATNYA mantan Presiden RI ke-2 Jenderal Besar Haji Muhammad Soeharto sebenarnya sebuah peluang untuk melakukan rekonsiliasi nasional, dan peluang ini akan sangat bagus jika inisiatif tersebut diambil mantan Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri. Sebab, persoalan nasional dan keruwetan politik bangsa sejatinya berasal dari dua kubu tersebut.

Dalam kaitan ini, seharusnya Mega dengan kebesaran hati dan jiwa datang secara langsung kepada keluarga almarhum HM Soeharto, sekaligus mengucapkan simpati yang sebesar-besarnya. Lebih bijaksana lagi, jika Mega berani mengucapkan menerima maaf segala macam dosa dan kesalahan yang dibuat almarhum semasa hidupnya.

Kejadian semacam ini tentu akan menjadi catatan sejarah tersendiri dan akan mampu menokohkan Mega sebagai seorang negarawan yang sulit dicari padanannya. Dalam kaitan ini, mungkin ada pembisik yang mengingatkan agar jangan dekat keluarga Cendana.

Pembisik tersebut dapat saja mengatakan jika Mega melayat HM Soeharto, popupeleritasnya bisa menurun. Sebenarnya asumsi yang demikian, tidaklah dapat dibuktikan. Sebab, fakta di lapangan telah membuktikan kepada kita jika rakyat masih mencintai almarhum.

Sekarang, persoalannya terpulang kepada Mega sendiri, apakah ia akan mengikuti bisikan orang lain, atau menuruti kata hatinya. Dalam kaitan ini Mega seharusnya sadar pula, kekalahan dalam Pemilu 2004 lalu adalah karena ia banyak menerima bisikan dari orang-orang sekitarnya. Pengalaman tersebut mestinya kita jadikan pelajaran bahwa tidak semua nasehat dan bisikan orang dekat mesti dilaksanakan.

Sementara itu tidak semua kritikan atau masukan dari pihak luar bahkan musuh ditanggapi sebelah mata. Karena bukan mustahil kritikan atau masukan dari luar itu jauh lebih baik dan bermanfaat daripada bisikan itu sendiri.

Di sisi lain, sebagai seorang pemimpin yang cukup berpengalaman dan anak seorang proklamator, Mega pastilah memiliki jiwa besar sebesar jiwa Bung Karno. Dengan jiwa besar dan pengalaman itulah, Mega dapat memikirkan untuk melakukan kunjungan ke Cendana.

Kunjungan itu jangan diartikan kalah menang dalam percaturan politik, namun jadikanlah kunjungan tersebut sebagai upaya untuk membuka keruwetan perpolitikan nasional yang dari hari ke hari tidak pernah kunjung selesai. Jika Mega memang mencintai rakyat, tentu tidak ada salahnya melakukan kunjungan tersebut.

Memang, berdasarkan berita yang dilansir berbagai macam media, menyebutkan jika mantan Presiden RI ke-5 itu mengutus orang kepercayaannya melayat sekaligus menyampaikan bela sungkawa. Bukan itu saja, beberapa media juga mengatakan sebenarnya hubungan antara kedua keluarga mantan presiden RI itu sangat baik. Contohnya, setiap ulang tahun Mbak Tutut atau Mbak Mega, keduanya saling berkirim bunga.

Namun tentu saja hal tersebut akan sangat bagus dan hampir pasti akan mendongkrak popularitas Mega, jika ia mau melakukan kunjungan ke Cendana. Dalam hal ini bukan tanpa risiko. Akibat yang timbul berkaitan dengan kebijakan tersebut pasti ada, misalnya Mega dapat saja mendapat tentangan keras dari para pembisiknya yang benci terhadap almarhum HM Soeharto.

Juga Mega dapat saja dicap miring oleh orang-orang yang selama ini berseberangan politik dengan Jenderal Besar tersebut. Namun demikian, kalau masalah ini dijadikan alasan Mega takut berkunjung ke Cendana, dan membiarkan peluang itu hilang percuma, sungguh benar-benar sangat disayangkan.

Jika Guruh Soekarnoputra berani datang melayat dan kemudian berbicara di hadapan media. Mengapa Mega tidak berani melakukan kebijakan yang barangkali dianggap cukup kontroversial tersebut. Di sinilah sebenarnya untuk pembuktian bagi seorang Mega, apakah ia benar-benar seorang negarawan yang berjiwa besar atau tidak. Dan tentu saja rakyat di nusantara ini akan menjadi saksi sejarah yang luar biasa tersebut. (Penulis adalah pengamat politik dari Universitas Nasional Jakarta)

Tidak ada komentar: