Jumat, 15 Februari 2008

Kembalikan Orde Baru (?)

Sekitar 53% rakyat Indonesia tak puas dengan jalannya demokrasi. Itulah salah satu hal yang diungkapkan LSI, lembaga survei yang bisa dipercaya.
Andrianto Soekarnen dan Ahimsa Sidarta

Sudah habiskah Orde Baru? Ternyata belum, setidaknya, menurut hasil sebuah survei, hampir 60% responden survei tersebut menyatakan bahwa kondisi di masa Orde baru lebih baik daripada sekarang. Tapi, tidakkah demokrasi dengan plus-minusnya kini sudah berjalan di Indonesia dibandingkan dengan pemerintahan otoriter di masa Soeharto? Benar, 65% responden bilang bahwa sistem demokrasi adalah pilihan terbaik bagi Indonesia. Tapi, harap maklum, menurut teori, demokrasi baru berjalan positif bila setidaknya didukung oleh 80% rakyat.

Itulah hasil survei pertama Lembaga Survei Indonesia, sebuah lembaga yang dimotori oleh Denny J.A. dan kawan-kawan. Para pendiri lembaga ini percaya bahwa demokrasi tak akan berjalan baik bila pemerintah tidak responsif terhadap �persepsi, harapan, dan kekecewaan publik yang luas.� Dan karena persepsi, harapan, dan kekecewaan publik itu berubah-ubah, penting untuk mengetahui perubahan tersebut. Untuk itulah LSI didirikan, dan lembaga ini akan melakukan survei sekali setiap tiga bulan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap �pemimpin nasional, partai politik, lembaga pemerintahan, serta sistem dan nilai demokrasi.�
Dalam setiap survei, selain pertanyaan pokok berkaitan dengan topik tetap yang hendak diketahui perubahannya, juga ditambahkan topik yang aktual. Seperti survei LSI pertama ini, yang pengumpulan datanya dilakukan pada 1-20 Agustus lalu dengan 2.240 responden yang tersebar di seluruh Indonesia (kecuali di Nanggroe Aceh Darussalam), selain topik tetap, juga ditanyakan mengenai persepsi responden terhadap para calon presiden (lihat: tulisan kedua).

PRO-KONTRA ORDE BARU
Usia zaman reformasi yang sudah lebih dari lima tahun ini ternyata belum cukup menghapus hal-hal yang bertentangan dengan kaidah demokrasi. Selain kerinduan akan zaman Orde Baru, sebagian besar responden juga masih mendukung militer—yang mestinya menyingkir dari dunia politik dan pemerintahan (kecuali yang sudah pensiun)—masuk ke dalam pemerintahan. Hanya kurang dari 40% responden yang tidak setuju kepemimpinan tentara aktif. Angka ini menunjukkan bahwa ide supremasi sipil pada kenyataannya belum didukung oleh mayoritas masyarakat.

Bagaimana menjelaskan lemahnya dukungan rakyat terhadap demokrasi? Mayoritas responden menilai sukses-tidaknya sebuah sistem pemerintahan dan negara rupanya dari perspektif ekonomi. Survei ini mengungkapkan, sebagian besar responden berpendapat bahwa kondisi ekonomi mereka dan ekonomi nasional sekarang lebih buruk daripada di masa Orde Baru.

Diketahui pula bahwa para pendukung demokrasi adalah mereka-mereka yang tergolong berpendidikan dan mempunyai pendapat yang relatif lebih dari cukup. Mereka inilah yang membutuhkan sistem politik yang memungkinkan mobilitas politik, sehingga mereka dapat terlibat di dalamnya. Dan ini hanya dimungkinkan oleh sistem politik yang terbuka, yang menganggap perbedaan sebagai nilai. Inilah sistem demokrasi.

Bila responden survei ini dibagi dua, yang pro Orde Baru dan pro pemerintahan sekarang, akan terlihat bahwa mereka menilai pemerintahan sekarang gagal.

Dari kelompok pro Orde Baru, yang menilai kinerja pemerintahan Megawati tidak membawa kemajuan ternyata jumlahnya lebih banyak daripada yang mengakui sebaliknya. Perbandingannya, 9:7. Sedangkan dari kelompok pro pemerintahan sekarang, yang menilai Megawati membawa kemajuan ternyata lebih besar daripada yang menganggap pemerintahan sekarang tak membawa kemajuan (29:7).

Begitu pula pendapat responden tentang kinerja PDIP, partai pemenang pemilu yang lalu. Ada sedikit perbedaan sebenarnya, bahwa dalam kelompok pro Orde Baru yang menilai PDIP berkinerja baik ternyata sama kuatnya dengan yang menilai sebaliknya. Sedangkan di kelompok pro pemerintahan sekarang yang berpendapat bahwa kinerja PDIP baik ternyata hampir empat kali lebih banyak daripada yang berpendapat PDIP berkinerja buruk.

PARTAI-PARTAI
Survei LSI ini juga mencoba mengungkapkan penilaian beberapa partai terhadap kondisi sekarang dibandingkan di masa Orde Baru. Dari responden yang pendukung PDIP, yang berpendapat kondisi sekarang lebih baik dan yang menilai sebaliknya, jumlahnya sama-sama kuat.

Dari responden pendukung Partai Golkar, yang menyatakan bahwa kondisi di zaman Orde Baru lebih baik, jumlahnya empat kali lebih banyak daripada yang menyatakan sebaliknya. Di kalangan Partai Kesatuan Bangsa begitu juga, namun perbandingan antara yang menyebutkan Orde Baru lebih baik dengan yang menilai sebaliknya tidak sebesar di kalangan pendukung Golkar. Di PKB, perbandingan itu hanya hampir 2:1.

Bagaimana di dalam partai Amien Rais alias Partai Amanat Nasional? Ternyata responden dari kalangan PAN juga menganggap zaman Orde baru lebih beres, meski perbandingan dengan yang menilai masa kini lebih baik jumlahnya tidaklah begitu besar (hanya 8:5).

Survei LSI ini, sebagaimana survei-survei di negara maju, pun tak mungkin 100% mencerminkan kenyataan. Derajat kesalahannya tentu masih ada. Namun, dibandingkan survei-survei yang lain, setidaknya survei LSI ini lebih luas lingkupnya, dengan pertanyaan-pertanyaan yang saling mengonfirmasi. Dengan demikian, jawaban yang diperoleh lebih bisa dipertanggungjawabkan.

Karena itu, hasil survei ini penting. Bila pemerintahan sekarang merasa tak cukup waktu guna melakukan perbaikan-perbaikan, setidaknya hasil ini bermanfaat bagi pemerintahan hasil pemilu tahun depan. Menegakkan demokrasi tanpa membuka kemungkinan kesejahteraan masyarakat meningkat tak akan mendapat dukungan luas. Keberhasilan pemerintahan (demokratis) terancam gagal bila pendukungnya kurang dari 80% rakyat.

Bila dalam perkembangannya kemudian LSI bisa membuktikan sebagai lembaga survei yang layak diandalkan, kira-kira LSI akan menjadi lembaga survei yang kredibel seperti Gallup Organization di Amerika Serikat dan Social Weather Stations di Filipina. Hasil survei dua lembaga itu menjadi pegangan politisi dan pejabat dalam mengambil berbagai kebijakan di negara masing-masing.

Di Amerika Serikat, misalnya, segera setelah George W. Bush mencanangkan perang terhadap terorisme pasca-Tragedi 11 September 2001, Gallup melakukan survei. Hasilnya, 85% penduduk Amerika mendukung kebijakan presiden mereka. Itu sebabnya dengan yakin Bush mengirimkan pasukan ke Afganistan.

Gallup pula yang kemudian mengungkapkan bahwa setelah tentara Amerika mendapat banyak kesulitan di Irak dan kondisi ekonomi dalam negeri memburuk, dukungan terhadap Bush tinggal sekitar 40%.

Hasil survei Gallup itu menjadi referensi buat siapa saja di AS yang berniat menyuarakan pendapatnya tentang pemerintahan Bush. Mereka yang semula mendukung Bush dalam survei, misalnya, bukannya tak mungkin akan berpikir ulang: masihkah George W. Bush layak didukung. Yang pasti, tim sukses Bush dalam pemilihan presiden tahun depan harus bekerja keras untuk memenangkan Bush kembali. Dan lawan-lawan Bush nanti tentu tak akan melepaskan peluang dalam kondisi ketika antusias masyarakat AS terhadap Bush menurun.

Tentu, sebuah hasil survei sifatnya netral. Hasil ini bisa positif atau negatif tergantung penggunanya. Misalnya saja, menurut survei LSI, seorang calon presiden dari partai tertentu ternyata kurang mendapat dukungan rakyat, lalu si calon dan partainya itu menggunakan segala cara untuk menang—misalnya—dengan memainkan politik uang sejadi-jadinya.

Tapi, bagaimanapun, hasil survei bisa menjadi semacam pegangan: bila calon tak populer bisa menang, ataukah survei tersebut yang tidak akurat, atau ada sesuatu yang terjadi. Bila kemudian lembaga pemilu dan pers mencoba mencari jawabannya, bukankah survei bisa menjadi alat bantu untuk mengontrol ada tidaknya penyimpangan dalam pemilu?

Soeharto dan Teknologi

REPUBLIKA
Jumat, 01 Februari 2008


Triharyo Soesilo
Direktur Utama Rekayasa Industri

Salah satu kriteria kesuksesan seorang pemimpin bangsa adalah melihat keberhasilannya dalam mengembangkan teknologi di negeri yang ia pimpin. Presiden Kennedy pada 25 Mei 1961 di depan anggota kongres dan senat Amerika Serikat mencanangkan untuk mendaratkan seorang manusia di bulan dan mengembalikannya ke bumi sebelum dekade 1960-an berakhir.

Tantangan ini dicapai oleh AS pada 20 Juli 1969 yang diwakili seorang astronot bernama Neil Armstrong. Walaupun pencapaian ini tidak mampu disaksikan Kennedy yang tertembak di Kota Dallas, Texas, pada 22 November 1963, sejarah tetap mengakui space race (balapan ke bulan) dicanangkan oleh Kennedy tahun 1961.

Presiden Ronald Reagan pada 23 Maret 1983 juga membuat sejarah dengan mencanangkan strategi baru untuk meningkatkan pertahanan terhadap serangan peluru kendali bermuatan nuklir. Strategi ini sering dijuluki Star Wars yang intinya meningkatkan teknologi untuk menembak jatuh peluru kendali Rusia yang sedang terbang menuju AS.

Di dunia berkembang, kita mengenal Presiden Brasil Luiz Incio da Silva (Lula) yang dilantik pada 2003. Sejarah membuktikan berkat dorongannya pengembangan industri bioetanol dari produk sampingan gula di Brasil menjadi semakin maju. Ia memberikan keringanan pajak bagi mobil dengan bahan bakar etanol. Pada 2004 jumlah mobil flex fuel yang hanya 17 persen waktu itu meningkat menjadi 53,6 persen tahun 2007.

Soeharto sebagai anak petani pada awal kepemimpinannya memusatkan perhatian pada pembangunan pertanian. Ia kembangkan teknologi intensifikasi dan ekstensifikasi.

Karena umumnya petani tak puas jika tidak ditunjukkan bukti, Soeharto mengembangkan lahan percontohan. Ia mempunyai lahan penelitian di Tapos untuk mencoba teknologi pertanian dan peternakan. Dia juga menerapkan teknologi informasi penyuluhan dan bimbingan yang disebut intensifikasi massal (inmas) dan bimbingan massal (bimas). Program penyuluhan menggunakan teknologi radio dan televisi, seperti temu wicara program kelompencapir, dikembangkan.

Indonesia bisa melipatgandakan produk beras. Indonesia pada 1969 hanya memproduksi 12,2 juta ton beras. Lalu, dengan teknologi baru pada 1984 mencapai produksi 25,8 juta ton.

Pada 14 November 1985 Mr Edouard Saouma, dirjen FAO, memberikan penghargaan kepadanya. Soeharto terus mencari teknologi untuk meningkatkan produktivitas. Dia mendorong pemakaian pupuk yang lebih besar ukurannya sehingga lebih hemat (pupuk briket). Namun, program ini terhenti karena berbagai kepentingan pribadi keluarga Soeharto.

Lalu, bagaimana kepiawaian Soeharto dalam merangkul dan mengembangkan teknologi di luar teknologi pertanian, misalnya di bidang industri? Di sinilah peran Soeharto terlihat tidak fokus. Dia mengembangkannya secara lebar (broad-based strategy).

Awalnya pengembangan teknologi industri diarahkan pada substitusi impor. Seluruh pengembangan untuk memproduksi produk secara mandiri. Pada era 1970-an sebagian besar pabrik dibangun oleh teknolog asing untuk menghasilkan produk substitusi impor.

Kilang Dumai yang dibangun oleh kontraktor Jepang Ishikawajima Harima Industries Co diresmikan tanggal 8 September 1971, Kilang Sei Pakning yang dibangun Refican Ltd (Refining Associates Canada Limited) dialihkan ke Pertamina pada September 1975. Kilang minyak Cilacap yang dibangun oleh Fluor, AS, diresmikan tahun 1977, pabrik pupuk Kujang, dan pabrik pupuk Pusri yang juga dibangun oleh perusahaan AS, Kellogg, adalah berbagai industri yang dibangun untuk melakukan substitusi impor. Namun, pembangunan pabrik maupun kilangnya dilakukan oleh kontraktor asing.

Menjelang 1980-an, setelah melihat cadangan minyak dan gas mulai menurun, mulailah Soeharto mengembangkan program pembangunan kemandirian industri dalam negeri, tidak hanya untuk melakukan substitusi impor. Tujuan utamanya untuk meningkatkan produk ekspor nonmigas.

Soeharto tetap menerapkan broad-based strategy dengan berbagai regulasi. Keputusan Presiden yang mensyaratkan kandungan lokal pada semua tender pemerintah dikeluarkan. Keppres ini pada awalnya diterapkan dan dikendalikan oleh Mensesneg Soedharmono dan kemudian dilanjutkan oleh Menko Ekkuwasbang Hartarto dan Saleh Afif.

Untuk setiap tender pemerintah waktu itu, semua kontraktor harus menghadap ke kantor Sekretariat Negara. Pada era ini dibentuk departemen baru yang mengurus peningkatan penggunaan produksi dalam negeri yang antara lain dijabat oleh Ginandjar Kartasasmita. Pada era inilah tumbuh berbagai industri dalam negeri dan perusahaan nasional. Mereka mendapatkan kesempatan membangun dan memproduksi produk dalam negeri.

Contohnya, kelompok Bakrie memperoleh preferensi mengembangkan industri perpipaan, kelompok Bukaka mendapat kesempatan untuk membangun industri belalai pesawat terbang dan pompa angguk, kelompok Arifin Panigoro mendapat kesempatan membangun industri transmisi listrik.

Lalu, ada PT Rekayasa Industri mendapatkan kesempatan untuk membangun pabrik pupuk, PT Inti Karya Persada Teknik mengembangkan kemampuan membangun pabrik LNG, PT Tripatra Engineers mendapat kesempatan membangun fasilitas pengolahan gas alam. Juga ada industri strategis, seperti PT Dirgantara Indonesia, PT Inti, PT Pindad, dan PT PAL.

Salah satu hal yang patut disayangkan adalah fokus industri pada pengolahan produk pertanian yang disarankan oleh para ekonom saat itu tidak digubris oleh Soeharto. Karena kepiawaian Habibie, Soeharto lebih memilih teknologi tinggi (high-technology) industri pesawat terbang ketimbang teknologi pengolahan industri agro pascapanen.

Industri penggilingan padi menjadi tidak terintegrasi. Industri gula tidak efisien. Industri produk oleokimia yang merupakan produk hilir kelapa sawit tidak mendapat perhatian.

Sejarah membuktikan kebijakan meninggalkan teknologi pascapanen produk pertanian adalah kesalahan utama Soeharto di bidang teknologi. Ini yang membuat Indonesia saat ini belum memiliki keunggulan industri pengolahan produk pertanian.

Indonesia sebuah negara yang mempunyai keunggulan lintasan matahari yang sangat panjang di khatulistiwa. Salah satu keunggulan kompetitif dibanding negara lain adalah cuaca yang baik dan juga energi matahari sangat berlimpah.

Pada awal pemerintahannya, Soeharto menyadari itu dengan menerapkan berbagai teknologi untuk mendorong swasembada produk beras. Namun, pada akhir masa kepemimpinannya, Soeharto melupakan keunggulan ini dan terpukau pada teknologi tinggi yang bahan bakunya tidak tersedia di Indonesia. Itulah catatan sejarah Soeharto di bidang teknologi hingga kita bernasib seperti sekarang ini.

Melihat Pak Harto sebagai Paradoks

SINAR HARAPAN
14 JANUARI 2008


Oleh
Syafruddin Azhar

Pada suatu kesempatan, Vladimir Ilych Lenin (1870-1924) bertanya kepada seorang sahabatnya, Sigizmund Krzhizhanovsky (1887-1950): “Tahukah kau kebusukan terbesar itu?” Rekannya ini tidak menjawab. Maka jawab Lenin, “Yaitu berumur lebih dari 55 tahun.”
Lenin sendiri tak sampai mencapai “kebusukan” itu. Dia mati muda, 54 tahun. Setahun kurang untuk mencapai “kebusukan” itu. Namun sesuatu yang lebih busuk mulai merusak: belum lama jasad Lenin dibalsem di mausoleum, para wakilnya berebut kuasa.
Sejarah mencatat, persaingan keras dan kejam dalam memperebutkan kursi kekuasaan itu terjadi antara Gregory Zinoviev (1883-1936), Leon Trotsky (1879-1940), dan Joseph Stalin (1878-1953). Sejarah Uni Soviet membuktikan Stalin-lah yang memenangi persaingan itu, walaupun dalam salah satu “surat wasiat”-nya Lenin menyatakan bahwa “Stalin terlalu kasar”.
Belum lama berada di puncak kekuasaan, Stalin segera membersihkan lingkungannya dari musuh dan rival politik. Dia segera menyeret Zinoviev ke pengadilan bersama seluruh bekas pimpinan teras Partai Komunis semasa Lenin.
Ia pun mengasingkan rival utamanya, Trotsky, ke luar negeri dan membunuhnya di kemudian hari. Dan rakyat pun dikerahkan untuk berseru, “Tembak saja anjing-anjing gila itu!”
Di hari-hari terakhirnya, Stalin semakin parah dengan “penyakit” megalomania itu. Kepada stafnya yang berkunjung, dia kerap bertanya penuh selidik, “Kenapa hari ini kau selalu menghindari pandanganku?” Yang ditanya esok harinya bisa masuk bui.
Sejarah politik di sini, mungkin pernah mengalami situasi buruk seperti itu. Dulu, politik represif—menekan, mengekang, menahan, dan menindas—menjadi semacam momok mimpi buruk bagi para oposan atau mereka yang berseberangan (berbeda pendapat) dengan rezim. Orde Lama dan Orde Baru, konon, sama saja.
Soekarno dan Soeharto adalah “orang kuat” yang pernah memimpin negeri ini. Ada hitam dan putih di sana. Tentu saja kemelut, krisis, dan kekejaman politik di masa lalu itu tidak sama dengan yang terjadi di Uni Soviet era Stalin. Namun, di sini ada kelompok “Petisi 50”, seteru Soeharto. Dulu, ada pemberontak republik yang dimusuhi Soekarno.

Bapak Pembangunan
Bangsa ini pun pernah mengingat Soeharto dengan kebijakannya yang progresif: stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Dalam menggerakkan kebijakan itu, ada canda tawa dan isak tangis sebagai sebuah dampak sosial-politik. Sayangnya, terlalu banyak terdengar isak tangis jeritan daripada canda tawa riang. Lalu kita mengenang Soeharto sebagai “Bapak Pembangunan”.
Orangtua itu, kini telah senja di pembaringan. Orangtua itu, Haji Muhammad Soeharto tak lagi berada di singgasana. Pada 21 Mei 1998, ia mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden Republik Indonesia, dan menyerahkan jabatan itu kepada wakilnya, B.J. Habibie. Setelah tak lagi berkuasa, Pak Harto mulai dihujat dan didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi atas tujuh yayasan yang dipimpinnya. Orang kuat yang selama 32 tahun menjadi pusat “penghadapan” itu dituntut menghadap “kursi pesakitan” sebagai terdakwa.
Dulu, ketika rezim Orde Baru masih berkuasa (1967-1998), siapa pun yang menghadap Pak Harto, mereka selalu duduk teratur dengan kedua tangan disilangkan. Kadang-kadang para penghadap itu menunduk dan mencium tangannya. Di sini terlihat, Pak Harto adalah pengayom dan panutan.
Mereka menerima dengan rasa bangga. Orang-orang terdekatnya tak ada yang berani berkata aneh. Ketika menyaksikan di televisi detik-detik Pak Harto mengumumkan pengunduran dirinya, Amien Rais, tokoh yang berada bersama mahasiswa di ujung tombak gerakan reformasi (1998), tertegun dalam perasaan sentimentil.
“Ketika mencermati pengumuman Pak Harto berhenti menjadi presiden, 21 Mei 1998 lalu, saya lega dan bahagia, tetapi juga sedih dan terharu. Lega dan bahagia karena apa yang diperjuangkan mahasiswa bersama rakyat, akhirnya berhasil. Namun juga sedih dan terharu karena sebagai bangsa yang besar, kita telah mengulangi kesalahan sejarah dalam waktu yang sangat singkat, ” tulis Amien Rais di media massa.

Kebenaran yang Asing
Seorang perempuan Jawa yang santun, pernah berkata jujur. Ia tak kuasa menahan tangis haru ketika Pak Harto berhenti menjadi presiden. Di matanya, Pak Harto adalah sosok Jawa yang sempurna dalam mengendalikan rasa. Pak Harto adalah sebuah nasib tragis, juga paradoks. Pelajaran selalu ada di mana-mana. Tetapi, kesalahan juga selalu dihamparkan ke mana-mana. Seperti juga partai politik yang mati karena menelan dustanya sendiri.
Penyair Inggris, Lord Byron (1788-1828), dengan agak romantik bicara ihwal kebenaran. Katanya, “This is strange, but true, for truth is always strange.” Ini adalah asing, tetapi benar karena kebenaran itu selalu asing, katanya. Suatu gugatan terhadap kebenaran, bagaimana yang asing tetap kebenaran, dan karena itu kebenaran selalu asing. Setidaknya, kita mencoba memahami tentang kebenaran, yang di dalam kenyataan, bukan mustahil kebenaran itu sebagai sesuatu yang asing. Namun kendati asing, kita masih mujur bahwa kebenaran itu ada.
Kita barangkali ingin terlibat dalam diskursus persuasif, bahwa proses peradilan yang melibatkan Pak Harto perlu dilihat dari dua sisi mata uang yang berbeda. Ada kaitan antara keadilan, penegakan dan kepastian hukum dengan pemulihan ekonomi. Untuk menjalin komponen ini, dibutuhkan sikap kenegarawanan yang menempatkan kepentingan negara dan bangsa sebagai yang tertinggi.
Eratnya korelasi antara penegakan hukum dan pemulihan ekonomi ini pernah ditegaskan oleh sosiolog dan ahli ekonomi-politik Jerman, Max Weber (1864-1920). Kehidupan ekonomi menuntut terciptanya sistem hukum yang dapat memberikan prediktabilitas tinggi, sehingga dapat dimasukkan dalam perhitungan ekonomi. Penulis esai populer, “Die protestanische Ethik und der ‘Geist’ des Kapitalismus” (1904-1905) ini tak berharap terciptanya undang-undang (UU) dan peraturan hukum sebanyak-banyaknya. Ia lebih berharap, bagaimana peraturan yang ada itu capable sebagai alat penegakan hukum. Dengan kata lain, masih ada satu soal komplementer, yakni perilaku. Sebab UU dan peraturan hukum satu soal, perilaku—keseriusan dalam menegakkan hukum—soal lain lagi.
Kini, Pak Harto terbaring di RS Pertamina. Orang yang telah sepuh ini tampak tak berdaya, penuh dengan alat bantu medis di tubuhnya. Bagi bangsa ini, dilema proses peradilan perkara korupsi yang dituduhkan kepadanya merupakan sebuah paradoks politik. Kita, rasanya, perlu memperhalus nurani dalam melihat hitam putihnya.

Penulis adalah peneliti pada Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP)

Soeharto sebagai Militer

SINAR HARAPAN
28 JANURAI 2008

Oleh
Daud Sinjal

Posisi Jenderal Purnawirawan Soeharto sejak 1978 sudah menjadi mantap dan tak tergoyahkan. Sidang umum MPR di Bulan Maret tahun itu telah menetapkan Soeharto untuk meneruskan jabatan kepresidenannya pada periode ketiga, dan masih membekalinya dengan wewenang penuh untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk menyelamatkan Pancasila dan pembangunan nasional. Perlawanan terakhir dari gerakan penentangnya, yang center of gravity-nya di ITB Bandung sudah ditumpas sejak 1 Februari 1978.
Memang masih ada kelompok kelompok dissident seperti Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) TNI, Lembaga Kesadaran Berkonstitusi, dan Petisi 50. Mereka secara terbuka terus mengingatkan Soeharto untuk menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen serta tidak mempersonifikasi Pancasila sebagai dirinya pribadi.
Tapi, kendati para concerned citizen itu banyak yang mantan komandan tentara, kegiatan mereka itu tidak punya kekuatan dan tidak memberi dampak pada kedudukan Soeharto karena “di luar aturan main yang konstitusional dan institusional”. Lagi pula, ABRI sudah terintegrasi, dan panglima, para kepala staf angkatan dan kepala kepolisian sudah berikrar mendukung kepemimpinan Soeharto.
Tapi, di luar gerakan moral yang berbicara terbuka itu, banyak pula pihak yang mengutuk di belakang punggung Soeharto. Mereka adalah para keluarga korban yang terbunuh dalam operasi pemulihan keamanan dan ketertiban, atau mereka yang dipenjara atas berbagai tuduhan, mulai dari keterlibatan dengan PKI, gerakan subversi, separatisme yang mengancam kestabilan dan merongrong kewibawaan pemerintah, sampai kriminal yang non-idelogis dan a-politis.
Ada juga yang gemar “ngrasani” Pak Harto. Dan kebanyakan dari mereka itu juga adalah para purnawirawan jenderal. Mereka menggunjingkan Soeharto dengan nada merendahkan dan mengecilkan kepemimpinannya.
Sesama mantan pejuang kemerdekaan yang sinis ini sempat “makan sekolahan”—di MULO, AMS, dan HBS. Mereka banyak membaca buku dan karenanya merasa lebih tahu, “HBA” (has been abroad), berbahasa Indonesia yang baik dan benar, serta lancar bercakap-cakap dalam bahasa Belanda atau Inggris.
Mereka melihat Pak Harto sebagai hanya sekolah “ongko loro”, cuma lulusan sekolah calon prajurit (kaderschool) KNIL Gombong, tidak membaca buku strategi perang, apalagi berpengetahuan sosial politik. Bahasa Belandanya tidak bagus, dan dalam pidato resminya, Soeharto sering mengucapkan kata dan frase “daripada”, “semangkin”, dan “sudah barang tamtu”, yang jelas-jelas menyalahi kaidah bahasa Indonesia.

Kelebihan Soeharto sebagai Militer
Tapi tidak semua orang dari kalangan elite perwira yang pandai-pandai itu punya negative thinking terhadap Soeharto. Sebagai wartawan yang meliput bidang Hankam, saya sering bertemu dan mengobrol dengan perwira-perwira, baik yang suka menggerutu maupun yang memandang Soeharto secara lebih objektif.
Oleh karena yang menggunjingkannya adalah kalangan militer, perwira-perwira yang lebih gentleman itu membandingkan kelebihan Pak Harto sebagai militer dengan para jenderal yang merasa dirinya pintar itu. Dari sisi militer, Soeharto harus dinilai keberhasilannya yang menentukan di empat titik persimpangan jalannya sejarah RI.
Pertama, sekalipun dirinya diragukan sebagai pencetus ide serangan umum atas Yogyakarta pada 1 Maret 1949, tapi pelaksanaan serangan itu jelas terletak di tangan Soeharto. Keberhasilannnya menggariskan strategi dan taktik yang jitu, serta kepemimpinannya memimpin operasi mengagetkan Belanda dan menyadarkan dunia internasional tentang masih tegaknya TNI dan RI. Pihak Belanda sendiri mengakui kebolehan dari serangan Letkol Soeharto ke Yogyakarta tersebut. Serangan Yogyakarta mempengaruhi jalannya perang diplomasi dan memaksa Belanda menyelesaikan permasalahannya dengan RI melalui perundingan.
Persimpangan yang kedua adalah pada 1 Oktober 1965. Apa yang akan terjadi dalam sejarah RI kalau ketika itu Mayjen Soeharto, sebagai Panglima Kostrad, tidak segera bertindak menangkal usaha kudeta dan memulihkan keamanan dan ketertiban.
Ketiga, ia adalah satu-satunya panglima militer di Indonesia yang pernah memimpin kekuatan tentara terbesar setelah Perang Dunia II. Sebagai Panglima Komando Mandala perebutan Irian Barat, dari Januari sampai Agustus 1962, ia mengonsentrasikan satu korps tentara berkekuatan sampai 200.000 prajurit, serta menyiapkan operasi gabungan dari keempat angkatan, darat, laut, udara, dan kepolisian, juga sukarelawan. Operasi yang diberi nama Jayawijaya ini memang tidak terjadi karena keburu tercapai kesepakatan damai dengan Belanda di New York.
Bagaimanapun, Panglima Kostrad merangkap Panglima Wilayah Indonesia Timur itu sempat membawahi segenap arsenal ABRI yang cukup modern masa itu, ada 120 kapal mulai dari penjelajah berat, kapal perusak, kapal selam, sampai kapal angkut. Ada puluhan pesawat tempur, terdiri dari pengebom strategis Tupolev -16 dan 16 KS, penyergap MIG 17 dan 21, Ilyushin. Ditambah pula kapal dan pesawat Pelni dan Garuda serta awaknya yang dimiliterkan. Ia mengontrol mandala perang yang terentang mulai dari Utara di Moroati, sampai Selatan di Kupang. Kepadanya juga di bawah-komandokan (BKO) pangkalan udara utama (Lanuma) Halim PK, Lanud Madiun dan Malang, serta pangkalan armada di Surabaya. Pangkalan penyerangannya terpusat di Teluk Peleng, Banggai Kepulauan.

Operasi Khusus ke Malaysia
Kalau mau ditambahkan, masih sebagai Panglima Kostrad, merangkap Panglima Mandala Darat Siaga (dalam rangka Dwikora–mengganyang Malaysia), ia mengendalikan “operasi khusus“ untuk menghentikan konfrontasi dengan Malaysia. Operasi intelijen ini cukup rumit, karena PM Malaysia Tengku Abdulrahman Putra dan Presiden RI Sukarno saat itu masih dalam suasanan “marahan”.
Di Jakarta, Soeharto berhasil mem-fait-accompli Sukarno untuk berdamai lagi dengan Malaysia. Di Kuala Lumpur, Wakil PM Tun Razak berhasil membujuk Tengku Abdulrahman untuk rujuk dengan Indonesia. Kerukunan kembali dua bangsa serumpun itu menjadi ancang-ancang bagi pembentukan perhimpunan bangsa bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Siapa di antara jenderal-jenderal yang meragukan Soeharto yang punya prestasi secara militer yang melebihi atau sekurangnya sama seperti yang ditunjukkan oleh Soeharto. Jenderal Yani dikenal cuma ketika menyelesaikan PRRI di Sumatera Barat, Kawilarang jadi berita ketika berhasil mengatasi situasi di Medan, Makassar, dan Jawa Barat (saat operasi tahap I terhadap DI/TII).
Panglima Siliwangi Ibrahim Adjie berhasil memimpin divisinya menyelesaikan pemberontakan Andi Selle, Kahar Muzakkar, Suomokil, dan Kartosuwiryo. Tapi empat operasi yang dijalankan Soeharto di atas adalah menentukan jalannya sejarah RI. Dan kesemua keberhasilan itu dilakukannya ketika ia masih murni sebagai militer profesional.
Soeharto boleh jadi bukan pemikir, dia cuma mengandalkan insting. Tapi begitu ia memegang komando dan harus melaksanakannya, dia melakukannya dengan lugas dan tuntas. Ketika ia berkuasa ia menjalankan kekuasaannya itu tanpa bimbang dan ragu. Soegeng Sarjadi, pengamat politik, pembawa acara perbincangan di TV, pernah bertamu pada Soeharto setelah beliau lengser. Kepada Soegeng, Pak Harto bilang: “Kekuasaan itu untuk dipergunakan dan dijalankan, bukan untuk dibagi-bagi”.n

Soeharto dan Orde ”Tak Tersentuh”

SINAR HARAPAN
30 JANUARI 2008

Oleh
Andi Arief

Soeharto adalah diktator yang berhasil. Apa boleh buat, dari satu iklim politik yang suka latah seperti sekarang, saya terpaksa mencatatnya begitu. Kepergiannya kemarin diiringi liputan media massa luar biasa, live, on the spot, real time, menit per menit. Kentara sekali jika obituarinya telah selesai ditulis, atau direkam, jauh hari sebelum bekas penguasa rezim Orde Baru itu meninggal dunia.
Media massa, meski tak semua, menghadirkan liputan kematiannya bak sebait ode bagi seorang yang sarat tanda jasa. Satu stasiun televisi bahkan memutar kembali riwayat hidupnya dengan iringan lagu “Gugur Bunga”. Terkesan kepada kita Soeharto seperti seorang pahlawan besar yang tamat berlaga di medan perang. Tapi bagi saya, lagu itu justru menyeret ke arah komplikasi sejarah, dan juga hari depan politik Indonesia. Satu momen yang tiba-tiba membuat saya terlempar ke masa sepuluh tahun silam.
Dari sudut sel gelap tempat saya ditahan aparat keamanan Orde Baru, sayup-sayup terdengar lagu “Gugur Bunga” menyayat. Hari-hari di Bulan Mei 1998, dari radio transistor penjaga sel, telinga saya menangkap berita tiga mahasiswa ditembak mati di Universitas Trisakti. Mereka jadi martir gerakan mahasiswa pro demokrasi dan rakyat yang tak percaya lagi dengan rezim Orde Baru. Saya dan kawan-kawan mahasiswa yang diculik, lalu ditahan itu yakin, inilah orkes pembuka bagi tumbangnya kediktatoran.
Sepekan kemudian, Soeharto mundur. Lakon Indonesia yang hamil tua itu akhirnya usai. Orde politik baru telah lahir. Tapi, rupanya perubahan tak selalu menghasilkan kemurnian. Ratusan ribu mahasiswa hari itu bermimpi rakyatlah yang menang. Lalu, pemerintahan baru bisa membawa cita-cita tentang Indonesia yang makmur dan adil, yang bebas represi dari tentara bangsanya sendiri.
Demokratis dan bermartabat. Pokoknya semua hal normatif, dan yang kini terdengar naif. Sepuluh tahun terakhir kita mencatat bahwa Soeharto adalah ”sang tak tersentuh”. Semangat menumbangkan sang diktator satu dekade silam, kini hampir sama kencangnya dengan gairah merayakannya kembali sebagai pahlawan.

Tentang Marcos dan Chun Do Hwan
Apa boleh buat. Mimpi reformasi itu pun kini hanya sepertiganya berhasil. Memang, ada kelegaan bahwa politik kini sudah menjadi urusan sipil. TNI dengan besar hati kembali menjadi militer profesional. Pers boleh bebas bicara, dan partai politik tumbuh seperti jamur. Ekonomi relatif lebih baik, meski banyak yang mengigau bahwa zaman Soeharto keadaan jauh lebih enak. Tak soal. Mungkin mereka adalah orang-orang dari kaum yang memilih perut kenyang, tapi rela jika bermimpi pun dilarang.
Tetapi, sebagai bekas penguasa satu rezim terpanjang dalam sejarah Republik Indonesia—mengalahkan Soekarno, pendahulunya, Soeharto adalah produser sekaligus produk dari satu tradisi politik yang berbahaya bagi demokrasi. Dia percaya rakyat tak butuh demokrasi, karena pemimpin tahu segalanya. Pancasila dipermak menjadi mantra menghidupkan kembali negara organis gaya fasisme Jepang. Soeharto, dengan patrimonialisme yang ditanamkan pada pengikutnya, menjelma menjadi struktur otoriter itu sendiri.
Dia tak cukup lagi dilihat sebagai pribadi. Kekuasaan otoriter, oligarki ekonomi bertopang kronisme, tradisi politik “asal bapak senang”, wadah tunggal, penangkapan kaum oposan dengan brutal, agaknya telah menjadi bagian dari ”Soehartoisme”.
Di tengah politik Indonesia yang kian liberal hari ini, ajaran itu mungkin mulai lapuk. Tapi toh, politik liberal itu juga membuat Soeharto bisa menutup hari akhirnya dengan lebih terhormat. Nasibnya, jelas lebih baik ketimbang koleganya bekas presiden Filipina
Ferdinand Marcos, yang digulingkan people power pada 1986. Hingga ajalnya tiba, Marcos sempat tak diizinkan pulang ke negerinya oleh penguasa baru hasil reformasi politik di sana. Di Korea Selatan, bekas presiden Chun Do Hwan, yang sebetulnya sulit disebut diktator ulung, tapi tersandung kasus korupsi. Dia akhirnya bersedia masuk bui. Chun lalu dikenang sebagai contoh moral politik bertanggung jawab dari bangsa Korea.
Perginya Soeharto jelas meninggalkan warisan perkara publik yang belum tuntas. Bahkan, kita merasakan Soehartoisme seperti berdenyut kembali. Ketika dia sedang sakit berat pun, tiba-tiba segelintir elite politik melantunkan koor maaf, minta kejahatan politik dan ekonomi Suharto dihapuskan saja dari benak rakyat. Kita lalu seperti putus asa dengan hukum. Lebih parah lagi, kita lupa bahwa penyelesaian kasus Soeharto adalah amanat reformasi, dan telah menjadi satu ketetapan di MPR RI.

Memburu Pewarisnya
Tentu, setelah Soeharto pergi, warisan perkara itu menjadi beban negara, keluarganya dan juga masyarakat. Bagi negara, pintu rekonsiliasi bagi masa lalu lenyap sudah, padahal masih banyak perkara korban pelanggaran hak asasi manusia oleh rezim Orde Baru belum lagi tuntas.
Sepatutnya, saat Soeharto minta maaf dulu, sewaktu dia turun, penguasa baru membawanya ke pengadilan. Mereka yang menjadi korban politik kejahatan atas kemanusiaan, dari tragedi 1965 sampai kasus Lampung, Aceh, Papua, dan banyak lagi, bisa menemukan jawaban pasti secara legal dari negara. Kini, pemerintah tentu menjadi lebih sulit merebut kembali harta yang diselewengkan Soeharto melalui berbagai yayasan, atau mengeduk kembali timbunan uangnya di luar negeri, termasuk mengadili perannya dalam kasus BLBI yang macet itu.
Saya turut bersedih, bukan mengikuti anjuran berkabung nasional selama sepekan itu. Yang menyedihkan adalah kepergian Soeharto dengan warisan perkara. Sebagai bangsa, kita seakan telah gagal memberi contoh yang baik bagaimana menamatkan sebuah transisi dari rezim otoroiter ke demokrasi. Tidak jelasnya status hukum Soeharto sampai dia meninggal, adalah tragedi besar bagi reformasi politik dan hukum Indonesia. Ketidakjelasan kasusnya sekaligus menjadi pendidikan politik buruk bagi generasi penerus, seakan menjadi pemimpin berarti berhak menjadi yang ”tak tersentuh”.
Apa boleh buat. Soeharto adalah diktator yang berhasil. Dia mungkin pergi dengan tenang. Tetapi rakyat yang mencatat kesalahannya, mungkin akan terus memburu keadilan dari siapa pun yang menjadi pewarisnya.

Penulis adalah mantan Ketua Umum Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).

Kamis, 14 Februari 2008

Berebut Rp 14 Triliun

TEMPO Edisi. 51/XXXVI/11 - 17 Februari 2008


MENGUSUT harta Soeharto, sebetulnya, tak semusykil mencari jarum di tumpukan jerami. Yang dibutuhkan hanyalah sikap keras hati, tekad bulat, dan keyakinan. Di mana ada niat, di situ ada jalan.

Jalan itu sudah terbentang di depan mata. Kalau mau, aparat penegak hukum bisa jelas melihatnya: sidang perceraian anak ketiga Soeharto, Bambang Trihatmodjo, dengan Halimah Agustina Kamil. Yang menarik bukan soal hakim mengabulkan permohonan cerai Bambang dan dilawan Halimah dengan naik banding, melainkan aset luar biasa besar dalam sidang itu. Jumlah yang diperebutkan Rp 14 triliun—barangkali merupakan harta gono-gini terbesar dalam sejarah Republik Indonesia.

Selebihnya, cerita perceraian itu bagai telenovela yang membius. Simak saja. Pengacara Halimah meminta pengadilan menyita sejumlah aset milik pasangan itu. Halimah khawatir harta mereka dipindahtangankan sebelum perceraian itu mendapat ketetapan hukum. Ibu tiga anak itu curiga Bambang memindahkan harta mereka kepada Mayangsari, penyanyi sintal yang kini menjadi istri kedua suaminya. Tentu Halimah takut seribuan hektare tanah yang tersebar di Jakarta, Purwakarta, Pulau Seribu, dan Bali, juga puluhan ribu lembar saham, belasan mobil, dan kapal, tiba-tiba lepas begitu saja.

Aparat bisa mulai dengan menilai harta milik Bambang. Majalah Time tahun 1999, misalnya, pernah menyebut Bambang Trihatmodjo memiliki duit Rp 1,8 triliun. Forbes, Desember 2007, menaksir pundi Bambang menyimpan Rp 2 triliun sekaligus mendapuk lelaki itu sebagai orang terkaya ke-33 di Indonesia. Dari mana hartanya bisa bertambah begitu hebat? Kenyataan ini bertentangan dengan pernyataan Keluarga Cendana, yang selalu membantah punya banyak banda.

Sulit mempercayai bahwa kekayaan Bambang diperolehnya dari bisnis yang ”normal-normal” saja. Sudah jadi rahasia umum, Keluarga Cendana mendapat banyak fasilitas dalam menjalankan usahanya. Bimantara, induk bisnis Bambang Trihatmodjo, didirikan pada 1981, tahun yang dipercaya banyak pengamat sebagai awal ”masa keemasan” kroni Soeharto.

Bimantara, misalnya, melalui Satelindo, adalah perusahaan pertama yang mendapat lisensi jaringan seluler GSM. Bambang pula yang paling dulu mendapat izin mendirikan stasiun televisi swasta di Indonesia. Bambang pernah memonopoli perdagangan jeruk di Kalimantan melalui PT Bima Citra—meski kemudian dilepas karena dikritik merugikan petani. Pada 1999, Bambang membeli 99 persen saham Bank Alfa—hanya dua pekan setelah Bank Andromeda miliknya dilikuidasi pemerintah. Tak seperti bankir lain yang masuk kategori ”orang tercela”—karena itu tak boleh memiliki atau memimpin bank—Bambang justru melenggang tanpa hambatan. Kala itu beredar kabar bahwa Bank Indonesia menutup Andromeda agar tidak muncul kesan bank sentral itu tebang pilih. Sebagai kompensasi, Bambang diberi kesempatan memiliki Bank Alfa. Catatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional pada 1999 menunjukkan Bambang Trihatmodjo adalah peminjam terbesar Bank Mandiri dengan nilai di atas Rp 20 triliun.

Fakta-fakta ini mestinya bisa membuat pemerintah bergerak. Kekayaan Keluarga Cendana harus diaudit dengan saksama untuk dipilah mana yang berasal dari kebijakan nepotis Soeharto dan mana yang bukan. Beslah terhadap harta Bambang harus dilakukan tak hanya untuk mencegah uang itu lari dari genggamannya, tapi lebih dari itu untuk diuji di pengadilan apakah dana berasal dari sumber yang legal atau haram.

Apa yang terjadi dengan fulus Tommy Soeharto di Bank Paribas cabang London tak boleh lagi terjadi. Ketika itu, tanpa banyak diketahui publik, pemerintah ”memulangkan” sekitar Rp 100 miliar duit Tommy yang dibekukan Paribas karena dicurigai merupakan bagian dari praktek pencucian uang. Mantan menteri Hamid Awaludin dan Yusril Ihza Mahendra ditengarai ”tahu banyak” skandal itu.

Tak boleh lagi kita dengar pemerintah menawarkan jalan damai di luar pengadilan kepada Keluarga Cendana seperti yang dilakukan Jaksa Agung Hendarman Supandji saat Soeharto masih sakit dulu. Gugatan perdata terhadap Soeharto yang kini diturunkan ke anak-anaknya harus dilanjutkan. Pemerintah harus percaya diri bahwa tanpa jalan damai pun mereka bisa menarik kembali uang yang disangka hasil penyalahgunaan kekuasaan itu. Penyelesaian di luar pengadilan, selain menghasilkan uang yang jumlahnya lebih kecil, juga tak secara tegas ”memastikan” Soeharto bersalah dalam perkara perdata itu.

Ikhtiar itu tentu membutuhkan napas tak pendek. Pemerintah Filipina menghabiskan 18 tahun untuk mengembalikan sebagian dana jarahan bekas presiden Ferdinand Marcos yang disimpan di pelbagai bank di Swiss.

Mengusut kasus Soeharto tak sesulit mencari jarum dalam tumpukan jerami—kalau mau dan punya niat. Harta gono-gini Bambang-Halimah hanya salah satu pintu masuk.

Giliran Anak Mengganti Bapak

TEMPO Edisi. 51/XXXVI/11 - 17 Februari 2008


Kejaksaan mengajukan keenam anak Soeharto sebagai tergugat dalam perkara Yayasan Supersemar. Tak perlu dokumen yang membuktikan mereka anak Soeharto.



MASA berkabung yang membuat sidang itu libur kini sudah lewat. Pekan ini sepucuk surat segera disampaikan tim jaksa Kejaksaan Agung kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Isinya, menyatakan Siti Hardijanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Harijadi, Hutomo Mandala Putra, dan Siti Hutami Endang Adiningsih sebagai tergugat dalam kasus penyelewengan dana Yayasan Supersemar. ”Keenam anak itu harus bertanggung jawab menggantikan posisi Soeharto,” kata anggota tim jaksa, Yoseph Suardi Sabda.

Setelah Soeharto meninggal akhir Januari lalu, sidang kasus gugatan Yayasan Supersemar ini memang diliburkan sementara. Sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), perkara ini tidak otomatis ikut mandek, tapi dilanjutkan ahli warisnya. Anak-anak Soeharto memikul tanggung jawab yang sama untuk menggantikan posisi sang bapak. ”Sama halnya dengan hak mereka mendapat harta warisan ayahnya,” kata Yoseph.

Hanya, pelimpahan tanggung jawab itu tak berlangsung begitu saja. Ada tahap yang mesti dilalui sebelum pengadilan menghadirkan keenam anak mantan penguasa Orde Baru itu ke ruang sidang. Tahap terpenting, jaksa menyampaikan kepada majelis hakim perihal kematian Soeharto sembari menunjuk ahli waris yang menggantikannya. Tahap selanjutnya, jaksa meminta majelis hakim memanggil ahli waris tersebut ke persidangan. Nah, Selasa pekan ini, tahap pertama itulah yang dilakukan. ”Secara tertulis dan langsung,” kata Yoseph.

Soal ahli waris ini, menurut aturan hukum perdata, perlu ada bukti yang bersangkutan benar ahli waris. Buktinya bisa berupa keterangan surat lahir, surat dari kelurahan, dari kecamatan, atau dari notaris. Tapi, khusus untuk perkara Soeharto ini, kejaksaan menganggap tak perlu mengumpulkan dokumen atau keterangan seperti itu. Alasannya, masyarakat sudah mengetahui keenam tergugat itu anak-anak Soeharto. ”Kecuali kalau mereka menyangkal,” kata Yoseph. Kalaupun mereka menyangkal, kejaksaan sudah memiliki ”senjata” lain. ”Kami sodorkan bukti, termasuk saksi atau rekaman gambar yang memperlihatkan mereka anak Soeharto,” kata Yoseph.

Juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Efran Basuning, sependapat dengan Kejaksaan Agung. Menurut Efran, sudah menjadi pengetahuan umum, keenam tergugat itu anak-anak Soeharto. Hanya, untuk ”hitam putih” di pengadilan, menurut Efran, harus disiapkan surat yang menunjuk mereka memang ahli waris. ”Bisa menggunakan surat keterangan dari pamong praja atau akta kelahiran.”

Gugatan ini berawal dari dugaan penyimpangan dana Yayasan Supersemar pada saat Soeharto berkuasa. Dana yayasan itu sendiri diperoleh dari sisa laba bersih bank-bank pemerintah. Saat itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976, yang kemudian diatur lagi lewat Keputusan Menteri Keuangan, setiap bank harus menyetor 50 persen dari 5 persen sisa laba bersih mereka ke rekening yayasan.

Dana itu, sesuai dengan tujuan yayasan, digunakan membantu pendidikan pelajar dan keluarga tak mampu. Tapi prakteknya yayasan ternyata menggelontorkan duit itu ke sejumlah perusahaan keluarga dan kroni Soeharto. Pada 9 Juli 2007 Kejaksaan Agung melayangkan gugatan ke pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kejaksaan menggugat Soeharto, sebagai tergugat pertama, dan Yayasan Supersemar sebagai tergugat dua, membayar ganti rugi material sebesar dana yang diperoleh yayasan. Selain itu, juga menuntut ganti rugi imaterial Rp 10 triliun. Pada akhir Januari lalu, sidang yang dimulai sejak Agustus 2007 itu seharusnya masuk agenda kesimpulan. Tapi, karena Soeharto meninggal, sidang pada akhir Januari lalu itu pun dibatalkan.

Tak hanya tergugatnya yang baru lantaran Soeharto meninggal, pengacara Soeharto dalam kasus ini pun otomatis dianggap gugur. Jadi, jika memakai pengacara, anak-anak Soeharto harus menunjuk pengacara baru. ”Mereka bisa saja menggunakan pengacara sebelumnya, asal ada surat kuasa baru,” kata Yoseph. Efran Basuning juga berharap anak-anak Soeharto secepatnya mengambil sikap. ”Supaya segera jelas, siapa yang mewakili mereka di persidangan nanti.”

Secara hukum, anak-anak Soeharto itu bisa saja menolak menggantikan posisi ayahnya sebagai tergugat. Hanya, jika ini terjadi, kata Yoseph, akan muncul konsekuensi lain. Mereka tak boleh menerima semua harta yang ditinggalkan Soeharto. ”Singkatnya, susahnya ditolak, enaknya juga tidak boleh diterima,” katanya.

Kendati demikian, jika anak-anak Soeharto menolak jadi tergugat, jaksa tetap masih punya celah lain menuntut ganti rugi. Kali ini ”mengalir” ke cucu atau cicit Soeharto yang sudah dewasa. Atau bisa juga ke saudara atau keponakan Soeharto. Menurut Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung, Untung Udji Santoso, jika semua menolak menjadi ahli waris, pihaknya akan menyerahkan aset Soeharto ke Balai Harta Peninggalan karena harta itu dianggap tidak bertuan.

Perihal ”warisan gugatan” itu, anak-anak Soeharto sendiri sampai kini masih menunggu. Menurut kuasa hukum Keluarga Cendana, Juan Felix Tampubolon, sebelum ada panggilan pengadilan, keluarga Soeharto belum menentukan sikap: apakah tetap melanjutkan persidangan dan menentukan siapa yang mewakili mereka jika sidang itu dilanjutkan. ”Menurut undang-undang, hakim harus memanggil, baru nanti yang dipanggil menentukan sikap, mau memenuhi atau tidak,” kata Juan.

Juan beberapa kali menyambangi putra-putri Soeharto setelah kematian ayah mereka. Namun sejauh ini, kata Juan, belum ada pembicaraan antara pengacara dan Keluarga Cendana tentang lanjutan sidang Yayasan Supersemar. ”Suasananya belum memungkinkan. Tapi, dalam satu atau dua hari, ada rencana membicarakan hal ini,” katanya.

Menurut pakar hukum perdata dari Universitas Gadjah Mada, Nindyo Pramono, langkah kejaksaan menunjuk enam putra-putri Soeharto sebagai ahli waris Soeharto sudah tepat. ”Itu memang tercantum dalam KUH Perdata,” ujarnya. Hanya, dalam hal ini, kata Nindyo, syaratnya kejaksaan harus terlebih dulu mendata seluruh harta Soeharto. Selain itu, kejaksaan seharusnya juga membuktikan apakah anak cucu Soeharto pernah mendapat harta hibah pada saat Soeharto masih hidup. ”Kalau terbukti ada dan bisa dipertimbangkan menjadi bagian dari harta warisan, mereka ini bisa digugat,” ujar Nindyo.

Kejaksaan rupanya tidak hanya menggugat ahli waris Soeharto dan Yayasan Supersemar. Sebuah langkah baru disiapkan kejaksaan: mengejar para penerima duit yayasan itu. Surat izin untuk menggugat mereka ini sudah dilayangkan kejaksaan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. ”Kami akan menggugat kalau sudah turun surat kuasa dari Presiden,” kata Yoseph. Kisah yayasan Soeharto di meja hijau—setelah sang penggagasnya mangkat—memang bakal panjang.

Sunariah

Dana Pendidikan untuk Beragam Bisnis

Yayasan Beasiswa Supersemar didirikan Soeharto pada 16 Mei 1974. Sejak berdiri sampai meninggal, Soeharto duduk sebagai ketua organ pembina. Ketua organ pengurus dijabat Arjodarmoko, 82 tahun. Yayasan memiliki dana abadi Rp 600 miliar yang didepositokan dan diinvestasikan di sejumlah perusahaan.

Tujuan yayasan: membantu pelajar tidak mampu melanjutkan pendidikan dan untuk kepentingan pendidikan lainnya.

Asal dana: Sisa laba bersih bank-bank milik pemerintah. Setiap bank diharuskan menyetor 50 persen dari 5 persen sisa laba bersih yang mereka peroleh.

Dana terkumpul: US$ 420 juta (sekitar Rp 3,78 triliun) dan Rp 185,9 miliar.

Penyimpangan:
US$ 419,9 juta dikucurkan ke PT Bank Duta (September 1990)
Rp 13 miliar dikucurkan ke PT Sempati Air (23 September 1989—17 November 1997)
Rp 150 miliar dikucurkan ke PT Kiani Lestari dan PT Kiani Sakti (13 November 1995)
Rp 12,74 miliar dikucurkan ke PT Kalhold Utama, Essam Timber, dan PT Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri (Desember 1982—Mei 1993)
Rp 10 miliar dikucurkan ke Kelompok Usaha Kosgoro (28 Desember 1993)


Kerugian negara:
US$ 420 juta (sekitar Rp 3,78 triliun) dan Rp 185,9 miliar

Sita jaminan:
Tanah dan bangunan Gedung Granadi di Jalan H.R. Rasuna Said Kav. 8-9 Kuningan, Jakarta Selatan

Tergugat:
Soeharto (kini diteruskan ke ahli warisnya)
Yayasan Beasiswa Supersemar

Sepenggal Harta Trah Cendana

Sebagian daftar harta Bambang Trihatmodjo dan istrinya dibuka di sidang perceraian. Konfirmasi atas laporan berbagai lembaga tentang pundi-pundi keluarga Cendana.



DI ruang sidang Pengadilan Agama Jakarta Pusat, sebagian harta keluarga mantan presiden Soeharto mulai terbuka. Lama menjadi teka-teki publik, jawaban datang justru dari sidang perceraian Bambang Trihatmodjo, anak ketiga Soeharto, dengan Halimah Augustina Kamil.

Awalnya adalah sidang perceraian biasa, walau menjadi buruan media hiburan. Bambang menggugat cerai Halimah, yang dinikahinya 27 tahun lalu, tapi sang istri menolak. Ia justru meminta Pengadilan Agama menyita harta keluarganya agar tidak bisa dialihkan kepemilikannya.

”Ini kasus pertama di Indonesia,” kata Nuheri, anggota majelis yang menangani permohonan sita harta. Di sinilah Halimah, melalui pengacaranya, pada 12 November tahun lalu, menyodorkan segepok daftar harta keluarganya. Menurut daftar itu, harta keluarga Bambang terdiri dari beberapa kelompok: tanah, kapal, mobil, dan saham.

Tanah atas nama Bambang atau sejumlah perusahaannya tersebar di Jakarta, Bogor, Purwakarta, Pulau Seribu, Situbondo, dan Kuta, Bali. Total luasnya 1.000 hektare lebih atau sekitar 10 kilometer persegi. Ini hampir seperlima wilayah Jakarta Pusat yang luasnya 55 kilometer persegi.

Keluarga Bambang memiliki tujuh kapal dan 18 mobil, di antaranya adalah VW Touareg yang di pasar harganya Rp 1,5 miliar serta Porsche Cayenne yang pada 2003 dijual Rp 1 miliar. Sebagian besar kendaraan itu atas nama Bambang dan sebagian lainnya Halimah.Bambang, 55 tahun, dan Halimah, 51 tahun, juga menguasai ratusan juta lembar saham baik langsung maupun tidak. Mereka memiliki 175 juta lembar atau 99,99 persen saham Asriland, perusahaan yang beranak-pinak ke puluhan perusahaan lain.

Melalui Asriland, Bambang, antara lain, memiliki 13,82 persen saham PT Global Mediacom Tbk. Ini adalah induk perusahaan yang menaungi, di antaranya, stasiun televisi RCTI, Mobile-8 Telecom (operator telepon Fren), dan Plaza Indonesia. Mereka juga menguasai separuh kepemilikan PT Cardig yang dua tahun lalu membeli maskapai penerbangan Mandala Air dari Yayasan Dharma Kostrad.

Menurut daftar yang sama, Bambang juga menguasai 99,74 persen saham PT Hyundai Indonesia Motor. Singkat kata, harta keluarga ini menjelajah berbagai sektor: dari stasiun televisi hingga operator telepon, dari pabrik kapsul hingga industri otomotif, dari pengelolaan hotel hingga kepemilikan pulau.

Belum ada taksiran resmi nilai semua harta itu, namun Lelyana Santosa, pengacara Halimah, kepada media hiburan pernah mengakui nilainya berkisar Rp 14 triliun. Kepada Tempo, ia menyatakan semua data itu valid. ”Paling tidak, dari keyakinan klien saya,” katanya. ”Itu semua aset murni, sudah dikurangi dengan utang.”

Juan Felix Tampubolon, pengacara Bambang, menganggap daftar kekayaan itu ngawur. Banyak nama perusahaan dalam daftar yang, menurut dia, tidak akurat. ”Pak Bambang malah bingung, tertawa sendiri. Banyak perusahaan, padahal dia nggak tahu,” ujarnya.

Menurut Lelyana, data itu dikumpulkan segera setelah Halimah digugat cerai suaminya, pertengahan tahun lalu. Memang, tidak ada pembukuan khusus. Yang ada catatan-catatan lepas pada perusahaan tempat Halimah pernah menjadi komisaris. Ada sejumlah data yang masuk dari kantor pengacara Lelyana. ”Misalnya, yang ini sudah tidak lagi atau ini ada tambahan, dan klien kami membenarkan,” tuturnya.

Yang tak masuk dalam daftar itu adalah aset Bambang di luar negeri, di antaranya apartemen di Beverly Hills, Los Angeles, tempat keluarga ini biasa tinggal saat berkunjung ke Amerika Serikat. ”Saya tidak tahu kenapa tidak dimasukkan,” kata Lelyana (lihat ”Yang Gelap di Seberang Samudra”).

l l l


BAMBANG Trihatmodjo dan Halimah Augustina Kamil menikah pada 24 Oktober 1981. Lima bulan sebelum menikah, Bambang mendirikan Bimantara Citra. Perusahaan ini tumbuh besar karena diselimuti praktek kolusi dan kroniisme ayahnya. Di masa jayanya, pernah dalam setahun Bimantara beranak hingga 100 perusahaan.

Awalnya, Bimantara bergerak di bidang perdagangan. Hanya dalam sekejap, mereka merambah ke bidang perbankan, asuransi, rumah mewah, konstruksi, televisi, perhotelan, transportasi, perkebunan, perikanan, otomotif, makanan, kimia, dan pariwisata. Bimantaralah yang pertama kali memperoleh izin pendirian stasiun televisi swasta di Indonesia, RCTI.

Pada 1991, Bambang menguasai tata niaga jeruk di Kalimantan. Para petani harus menjual hasil panen mereka ke PT Bima Citra Mandiri milik Bambang. Perusahaan ini menerima 10 persen dari harga jual. Mereka juga mengutip Rp 1.500 per kilogram untuk sewa gudang plus ongkos bongkar-muat.

Pada 1990-an, produksi jeruk di Kalimantan Barat sangat melimpah, sekitar 120 ribu ton per tahun. Artinya, dari sewa gudang dan ongkos bongkar-muat saja, Bima Citra menangguk Rp 180 miliar per tahun. Alih-alih meningkatkan pendapatan petani, tata niaga menghancurkan kehidupan penanam jeruk. Pada 1993, tata niaga ini dihapus.

Bersama ayahnya, Bambang mendirikan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri) 15 Januari 1996. Soeharto menjadi ketua dan Bambang bendahara. Tujuan yayasan ini mulia: ”menjadi wadah masyarakat bergotong-royong untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga prasejahtera dan sejahtera.”

Untuk ”tujuan mulia” itu, Soeharto membuat aturan memotong 2 persen pajak penghasilan atas wajib pajak berpenghasilan di atas Rp 100 juta untuk disetor ke rekening Damandiri. Menurut perhitungan kejaksaan, terkumpul dana Rp 4,5 triliun selama dua tahun.

Pada 1997, Rp 112,7 miliar duit itu ditanam sebagai deposito di Bank Andromeda milik Bambang. Dana itu raib karena Andromeda dibekukan pada 1 November 1997. Dana Rp 330,3 miliar lalu disetor ke Bank Alfa, yang dibeli Bambang dua pekan setelah Andromeda ditutup.

Ternyata, dana itu pun tak bisa ditarik karena Bank Alfa dilikuidasi pada 13 Maret 1999. ”Kerugian negara pada kasus Damandiri ini Rp 442,8 miliar,” demikian tertulis dalam berkas perkara pidana Soeharto, yang urung dibacakan karena sang Jenderal Besar dinyatakan sakit permanen pada 1999.

Apakah daftar harta yang disodorkan Halimah ke Pengadilan Agama berkaitan dengan riwayat abu-abu bisnis keluarga itu? Lelyana mengaku tidak tahu. ”Sebagai pengacara, saya tidak pernah bertanya asal-usul harta yang ada di daftar itu,” ujarnya.

Juan Felix mengatakan, meski hartanya terkesan melimpah, utang Bambang juga sangat banyak. ”Kalau diperhitungkan semua utangnya, mungkin semua hartanya nggak cukup untuk membayar,” kata Felix tertawa.

Sementara itu, majalah Forbes punya perhitungan lain. Menurut majalah itu, edisi Desember 2007, Bambang Trihatmodjo adalah orang terkaya nomor 33 di Indonesia. Hartanya diperkirakan US$ 200 juta atau hampir Rp 2 triliun. Hitungannya berdasarkan harga saham dan kurs mata uang saat itu.

Bambang sendiri tak bisa dimintai konfirmasi. Tempo menunggu seharian, Jumat pekan lalu, di tempat tinggalnya, Simprug Golf, kawasan Patal Senayan, Jakarta Selatan. Rumah bercat cokelat muda itu tertutup pagar hampir dua meter. Dalam daftar Halimah, rumah ini tercantum atas nama suaminya.

Di sini pula Bambang tinggal bersama Mayangsari. Di depan rumah didirikan pos darurat dari kayu beratap terpal biru. Di dalamnya dua polisi berteduh. ”Bapak nggak ada, kemarin juga nggak ada,” kata Rois, salah seorang polisi. Menjelang pukul 14.00, Toyota Alphard yang kerap dipakai Mayangsari melintas dari ujung gang. Hanya sopir yang terlihat di dalam mobil itu.

Dua jam berselang, Alphard yang sama sudah terlihat parkir di Jalan Tasikmalaya 17, Menteng, Jakarta Pusat. Ini kediaman Bambang yang lain, dekat tempat tinggal keluarga besarnya. Polisi penjaga rumah pun berkukuh: ”Bapak tidak ada.”

Budi Setyarso, Arif A. Kuswardono, Wahyu Dhyatmika, Adek Media Rosa

Gono-gini Itu…

Menikah sejak 24 Oktober 1981, Bambang Trihatmodjo dan Halimah Agustina Kamil rajin mengumpulkan harta. Luas tanah mereka seribuan hektare, tersebar di Jakarta, Purwakarta, Pulau Seribu, hingga Bali. Butuh dua ratusan meter persegi untuk memarkir 18 mobil mereka. Saham mereka juga tertanam di pelbagai perusahaan.
Gono-gini Itu…

Menikah sejak 24 Oktober 1981, Bambang Trihatmodjo dan Halimah Agustina Kamil rajin mengumpulkan harta. Luas tanah mereka seribuan hektare, tersebar di Jakarta, Purwakarta, Pulau Seribu, hingga Bali. Butuh dua ratusan meter persegi untuk memarkir 18 mobil mereka. Saham mereka juga tertanam di pelbagai perusahaan.

Kapal
Bimantara Merek mesin kapal: Mercruiser
Citra Merek mesin kapal: Mercruiser
Fountain Merek mesin kapal: Yamaha
Lemuru Merek mesin kapal: Yamaha
Madrim Merek mesin kapal: Detroit
Sumbadra Merek mesin kapal: Yamaha
Utik Merek mesin kapal: Yamaha


Mobil
Satu BMW Jeep
Satu Porsche Cayenne
Satu Volkswagen Toureg
Satu Toyota Rush
Satu Volkswagen Caravelle
Satu Mercedes-Benz Jeep
Satu Mercedes-Benz Sedan
Satu BMW Sedan
Satu Hyundai Trajet
Satu Mercedes-Benz Jeep
Satu Range Rover
Satu Hyundai Santa Fe
Lima Kijang
Satu Pickup


Tanah
Jalan Tanjung 24, 26, Jakarta Pusat: 1.259 meter persegi
Jalan Raya Ciganjur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan: 3.105 meter persegi
Cisarua, Tugu Selatan, Bogor: 3.579 meter persegi
Jalan Tanjung 23, Menteng, Jakarta Pusat: 1.985 meter persegi
Jalan KH Wahid Hasyim 40, Kebon Sirih, Jakarta Pusat: 510 meter persegi
Jalan Raya Ciganjur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan: 3.000 meter persegi
Megamendung, Bogor: 4.650 meter persegi
Kampung Satu, Ciganjur, Jakarta Selatan: 867 meter persegi
Jalan Simprug Garden II, Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan: 2.534 meter persegi
Jalan Simprug Blok G No. 19, Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan: 492 meter persegi
Jalan Simprug Garden II, Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan: 4.114 meter persegi
Jalan Moh. Kahfi I, Kamp. Setu, Ciganjur, Jakarta Selatan: 2.290 meter persegi
Pondok Karya, Pondok Aren, Tangerang: 1.480 meter persegi
Kuta, Jimbaran, Bali: 4.350 meter persegi
Kuta, Jimbaran, Bali: 300 meter persegi
Kuta, Jimbaran, Bali: 5.550 meter persegi
Kuta, Jimbaran, Bali: 13.725 meter persegi
Ciganjur RT 006/06, Jagakarsa, Jakarta Selatan: 200 meter persegi
Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan: 157 meter persegi
Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu: 44.765 meter persegi
Jalan Simprug Garden II, Grogol Selatan: 2.705 meter persegi
Jalan Casablanca, Jakarta Selatan: 21.250 meter persegi
Jalan Wahid Hasyim 46-A, Kebon Sirih, Jakarta Pusat: 563 meter persegi
Wanakerta, Campaka, Purwakarta: 319.360 meter persegi
Cinangka, Campaka, Purwakarta, Jawa Barat: 219.500 meter persegi
Cikopo, Campaka, Purwakarta, Jawa Barat: 3.678.140 meter persegi
Situbondo, Jawa Timur: 479,6 hektare
Tanah di Jalan Cempaka Putih Raya No. 1, Jakarta Timur
Jalan Simprug Golf XVI No. 36, Jakarta Selatan.
Jalan Tanjung 29, Jakarta Pusat: 1.130 meter persegi
Tarogong Kecil, Pondok Pinang, Jakarta Selatan: 1.118 meter persegi


Rekening Bank
Rekening di Bank of America Beverly Hills Main 460 N Beverly Drive, Beverly Hills, California
Dua rekening giro bank di BNI Jakarta Pusat


Saham

Kepemilikan 99,9 % saham Asriland

Penyertaan melalui Asriland:
PT Bumi Kusuma Prima: 55 %
PT Global Mediacom Tbk (PT Bimantara Citra): 13,82 %

Penyertaan Bimantara
PT Media Nusantara Citra Tbk: 70 %
PT Mobile-8 Telecom Tbk: 60,76 %
PT Indonesia Air Transport Tbk: 79,81 %
PT Plaza Indonesia Realty Tbk: 18,29 %
PT Rajawali Citra Televisi Indonesia: 69,82 %
PT Elektrindo Nusantara: 51 %
PT Trans Javagas Pipeline: 49 %
PT Trihasra Bimanusa Tunggal: 35 %
PT Cardig Air: 50 %
PT Bima Kimia Citra: 30 %
PT Multi Nirotama Kimia: 40 %
PT Nusadua Graha International: 36,56 %
PT Duta Nusabina Lestari: 30 %
PT Usaha Gedung Bimantara: 100 %
PT. Citra International Finance & Investment Corporation: 55 %
PT Citra International Under-writers: 55 %
PT Jasa Angkasa Semesta: 25,50 %
PT Plaza Nusantara Realty: 13,5 %
PT Serasi Tunggal Karya: 7 %
PT Polychem Undo: 60 %


PT Bukit Sentul Tbk.
PT Gemini Sinar Perkasa: 65 %
PT Javalas Artha Asri: 99,99 %
PT Andromeda Sekuritas: 33,33 %
PT Asri Pelangi Nusa: 96 %
PT Bhakti Investama Tbk.: 0,59 %
PT Tugure: 20 %
PT Asia Pacific Petroleum Refinery Indonesia: 2.500 saham
PT Kapsulindo Nusantara: 63 %
PT Binajasa Hantarindo: 70 %
PT Herwindo Rintis: 35 %
PT Bina Cakra Niaga: 45 %


Penyertaan Bina Cakra:
PT Hyundai Indonesia: 99,74 %
PT Kawasaki Motor Indonesia: 7,5 %
PT Citrakarya Pranata: 70 %
PT Senantiasa Makmur: 10 %


Saham melalui pihak ketiga:
PT Panji Rama Otomotif: 1.050 saham melalui Djoko Leksono Sugiarto
PT Bina Cakra Niaga: 45 % melalui Abraxas Capital Limited II
PT Asri Wahana Intinusa melalui Junanda Puce Syarfuan dan Aziz Mochtar
PT Kekar Plastindo melalui Anas Bahfen
PT Dinamika Bahari Sejahtera melalui Bimmy Indrawan Tjahja dan Sugeng Tunggono
PT Binajasa Hantarindo melalui Bob Hippy
PT Javalas Artha Asri melalui Bambang Wibowo
PT Grandauto Dinamika melalui Djoko Leksono Sugiarto
Brinkley Associates Ltd
PT Karang Agung Asri: 70 %
PT Cilegon Saran Industria: 25 %
PT Cilegon Centra Petrokemin: 25 %
PT Pacific Tribina Petrokimia: 25 %
PT Asri Safari Bali: 100 %
PT Asri Sentra Citraindo: 100 %
PT Zaman Bangun Perwita: 100 %
PT Cipta Bintani Megah: 50 %
PT Mutiara Citra Jayasanti: 60 %


Penyertaan lainnya:
PT Dutarendra Mulia Sejahtera: 20 %
PT Karunia Alam Abadi: 43 %
PT Kresna Sarana Media: 60 %
Berita Yudha Press: 51 %
PT Kapsulindo Nusantara: 62,75 %
PT Lamicitra Nusantara
PT Laksana Citra Nusantara
PT Graha Tama Wisesa: 50 %
PT Adipuri Inti Satya: 10 %
PT Panen Lestari Internusa
PT ITCIKU
PT Tugu Reasuransi Indonesia: 20 %
PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk
PT Bhuwanatala Indah Permai Tbk
PT Cardig Lep Internasional: 45 % melalui Cardig Air
PT Batamindo Investment Cakrawala (BIC): 50 % melalui Herwindo
PT Batamindo Executive Village: 60 % melalui BIC
Private Holding Ltd

TEMPO FEBRUARI 2008

Cendana Pulang ke Beringin

SUMBER SINDO, Selasa, 12/02/2008


Sinyal itu datang juga.Keluarga Cendana yang dimotori Siti Hardiyanti Rukmana binti Soeharto akan kembali ke Partai Golkar. Pergerakan politik seperti ini sulit diduga ketika Soeharto masih hidup.

Sudah kadung diingat betapa Golkar telah menjadi ”Brutus”yang menaikkan dan menurunkan Soeharto pada akhir masa jabatannya.Dendam politik bisa berusia lama, bahkan cenderung berdarah pada era monarki. Tetapi dendam itu segera berakhir, seiring dengan koor pengampunan dan pemaafan atas kesalahan-kesalahan Soeharto. Definisi kesalahan Soeharto sebetulnya juga datang dari frase-frase politik yang dimasukkan ke dalam Tap MPR No XI/1998.

Kala itu mayoritas anggota MPR berasal dari Golkar. Sepuluh tahun menghadapi ”status tak berstatus”, kasus-kasus yang ditimpakan kepada Soeharto seperti hendak dikubur, seiring dengan pemakaman yang dipimpin langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pidato SBY atas Soeharto menunjukkan simpati dan empati yang dalam atas jasa-jasa yang sudah dibuat oleh Soeharto semasa hidupnya. Nyatanya Mbak Tutut lebih memberikan apresiasi kepada Partai Golkar. Bakti terakhir partai ini memang luar biasa.

Di samping menggerakkan kader-kader utama untuk memintakan permaafan dan pengampunan atas Soeharto,Partai Golkar juga berupaya menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional, sebagaimana sudah dibe-rikan kepada Ibu Tien Soeharto. Ba-rangkali sebuah jalan juga diberikan nama Jalan Soeharto, berikut patung megah, kalau perlu di jalanan yang paling padat kendaraan yang lewat.

Partai Tanpa Bapak

Selama sepuluh tahun terakhir ini Partai Golkar seperti kehilangan bapak. Pergantian kepemimpinan menghasilkan tokoh-tokoh luar Jawa,Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla. Dari sisi kultur politik, tokoh-tokoh itu lebih memainkan semangat egaliter dan terbuka.

Akbar,yang beristrikan orang Solo, telah menunjukkan pola kepemimpinan transisional yang menggabungkan otoritas dengan demokrasi.Hanya Akbar yang tidak berada di jalur eksekutif saat memimpin Partai Golkar. Pola Akbar itu tidak dilanjutkan oleh Kalla.Ketimbang melihat Partai Golkar muncul sebagai kekuatan oposisional di DPR,Kalla memajukan diri sebagai ketua umum dan menang atas dukungan elite-elite utama Partai Golkar.

Beringin kembali memasuki halaman Istana.Pengandaian bisa saja terjadi di sini,yakni duet SBY-Kalla akan mudah sekali goyang bila tidak ditopang oleh Fraksi Partai Golkar di DPR. Sungguhpun begitu,Partai Golkar tetap terlihat sedang mencari bapak. Dalam masyarakat tradisional dan transisional Indonesia yang bergulat dengan krisis, figur karismatis tetap diperlukan.Ini sebenarnya bukan khas Indonesia.

Tidak juga bisa dikatakan bahwa ini keadaan yang buruk.Tokoh pemersatu dalam tubuh partai politik untuk tingkat kemajemukan masyarakat yang tinggi juga terjadi di India, Pakistan,Thailand,Malaysia,Filipina, bahkan Amerika Serikat. Dari sisi ketiadaan bapak ini kematian Soeharto seolah memberikan pencerahan kepada keluarga Cendana dan keluarga Beringin untuk menyatukan diri yang dulu memang satu keluarga politik besar.

Pengaruh keluarga Cendana meningkat da-lam kancah politik dan pemerintahan pada pertengahan 1980-an.Mereka sudah mulai besar dan mengerti dengan urusan ekonomi.Dalam fase itu kesuksesan Soeharto dalam melakukan swasembada pangan juga menyeruak, termasuk peranan yang mulai meningkat secara regional dan internasional. Kalau jarum jam sejarah di balik, itulah saat yang tepat bagi Soeharto berhenti dari jabatannya sebagai presiden.Kita tahu,Soeharto tidak berhenti, tetapi melanjutkan kiprah kepresidenannya. Ketika anak-anak Soeharto makin besar,sejumlah benturan kepentingan menyeruak dan makin besar pada pertengahan 1990-an.

Meninggalnya sang buah hati, Ibu Tien, sebetulnya sudah memotong satu sayap Soeharto. Tetapi, ia pun makin terbelit kepentingan di sekelilingnya.Hanya dengan satu sayap,Soeharto diangkat lagi sebagai presiden pada 1998. Beban krisis multidimensional yang berat ternyata mematahkan sayap yang satunya lagi. Soeharto berhenti dengan tragis.

Tutut sebagai Simbol

Dibandingkan dengan anak-anak Soeharto yang lain,Tutut telah mendapatkan jalur politik yang lempang. Ia pernah mencetak banyak buku yang menceritakan kisah heroik ayahnya pada saat menduduki Yogyakarta.

Ia juga menyebarkan jutaan buku lain yang bercerita tentang Orde Baru.Bahkan seingat penulis, Mbak Tutut pernah mengatakan Orde Baru akan abadi, sesuatu yang menyalahi logika kesejarahan. Mbak Tutut kini menjadi simbol keluarga Cendana. Beringin yang telah menegaskan diri sebagai partai politik nomor satu dalam pemilu 2004, semakin hari semakin turun pesonanya, dilihat dari penanjakan suara PDIP yang dipimpin Megawati Soekarnoputri. Dibandingkan dengan Megawati, Mbak Tutut jelas sudah lebih berpengalaman di bidang politik dan pemerintahan, serta kegiatan- kegiatan sosial. Dulu, tidak ada yang yakin bahwa Mbak Mega akan mampu menjadi presiden dan simbol utama PDIP.

Kini, siapa yang yakin bahwa Mbak Tutut bisa seperti ayahnya? Roda kekuasaan seperti pedati. Bisa naik, bisa turun. Sepuluh tahu masa ”pemasungan” politik barangkali memberi bekal cukup bagi keluarga Cendana. Memang, terdapat PPKB yang didukung Mbak Tutut dalam Pemilu 2004.Namun, dukungan itu tidak terlalu meriah alias hanya menunjukkan perbedaan dengan partai-partai lain.Mbak Tutut paham mengulur waktu.Apalagi, kekuatan Cendana belum lengkap, mengingat Tommy Soeharto masih di penjara.

Pada perkembangan satu-dua pekan terakhir ini,terdapat dua skenario yang dilakukan keluarga Cendana. Pertama masuk ke semua parpol, terutama parpol besar. Ada usaha memasukkan Tommy ke PDIP,Titiek ke PKB,dan Tutut ke Partai Golkar.Kedua, karena yang memiliki talenta politik hanya Mbak Tutut, bisa jadi hanya dia yang aktif di politik.Keluarga Cendana yang lain akan sibuk dengan kegiatan ekonomi,sosial,atau budaya.

Soeharto tidak hanya mewariskan harta kekayaan yang banyak, melainkan juga kasus-kasus hukum. Kalau hanya sendirian, keluarga Cendana sulit menghadapi kasus-kasus itu. Beban tentu akan dibagi merata, termasuk lewat partai-partai politik. Sudah merupakan hal yang lumrah ketika orang-orang yang memiliki kasus tetap bertahan di parpol atau mendirikan parpol.

Pohon Beringin yang rindang, walau mulai berbagi lahan dengan PDIP dan Partai Demokrat, masih menyisakan tempat nyaman bagi Cendana. Dan kita akan saksikan,betapa akan banyak yang terusik kenyamanannya atau juga bertepuk tangan dengan bersemangat.(*)

Indra Jaya Piliang
Analis Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta

Mega dan Rekonsiliasi Nasional


Tanggal : 09 Feb 2008
Sumber : Harian Terbit


Oleh TB Januar Soemawinata

WAFATNYA mantan Presiden RI ke-2 Jenderal Besar Haji Muhammad Soeharto sebenarnya sebuah peluang untuk melakukan rekonsiliasi nasional, dan peluang ini akan sangat bagus jika inisiatif tersebut diambil mantan Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri. Sebab, persoalan nasional dan keruwetan politik bangsa sejatinya berasal dari dua kubu tersebut.

Dalam kaitan ini, seharusnya Mega dengan kebesaran hati dan jiwa datang secara langsung kepada keluarga almarhum HM Soeharto, sekaligus mengucapkan simpati yang sebesar-besarnya. Lebih bijaksana lagi, jika Mega berani mengucapkan menerima maaf segala macam dosa dan kesalahan yang dibuat almarhum semasa hidupnya.

Kejadian semacam ini tentu akan menjadi catatan sejarah tersendiri dan akan mampu menokohkan Mega sebagai seorang negarawan yang sulit dicari padanannya. Dalam kaitan ini, mungkin ada pembisik yang mengingatkan agar jangan dekat keluarga Cendana.

Pembisik tersebut dapat saja mengatakan jika Mega melayat HM Soeharto, popupeleritasnya bisa menurun. Sebenarnya asumsi yang demikian, tidaklah dapat dibuktikan. Sebab, fakta di lapangan telah membuktikan kepada kita jika rakyat masih mencintai almarhum.

Sekarang, persoalannya terpulang kepada Mega sendiri, apakah ia akan mengikuti bisikan orang lain, atau menuruti kata hatinya. Dalam kaitan ini Mega seharusnya sadar pula, kekalahan dalam Pemilu 2004 lalu adalah karena ia banyak menerima bisikan dari orang-orang sekitarnya. Pengalaman tersebut mestinya kita jadikan pelajaran bahwa tidak semua nasehat dan bisikan orang dekat mesti dilaksanakan.

Sementara itu tidak semua kritikan atau masukan dari pihak luar bahkan musuh ditanggapi sebelah mata. Karena bukan mustahil kritikan atau masukan dari luar itu jauh lebih baik dan bermanfaat daripada bisikan itu sendiri.

Di sisi lain, sebagai seorang pemimpin yang cukup berpengalaman dan anak seorang proklamator, Mega pastilah memiliki jiwa besar sebesar jiwa Bung Karno. Dengan jiwa besar dan pengalaman itulah, Mega dapat memikirkan untuk melakukan kunjungan ke Cendana.

Kunjungan itu jangan diartikan kalah menang dalam percaturan politik, namun jadikanlah kunjungan tersebut sebagai upaya untuk membuka keruwetan perpolitikan nasional yang dari hari ke hari tidak pernah kunjung selesai. Jika Mega memang mencintai rakyat, tentu tidak ada salahnya melakukan kunjungan tersebut.

Memang, berdasarkan berita yang dilansir berbagai macam media, menyebutkan jika mantan Presiden RI ke-5 itu mengutus orang kepercayaannya melayat sekaligus menyampaikan bela sungkawa. Bukan itu saja, beberapa media juga mengatakan sebenarnya hubungan antara kedua keluarga mantan presiden RI itu sangat baik. Contohnya, setiap ulang tahun Mbak Tutut atau Mbak Mega, keduanya saling berkirim bunga.

Namun tentu saja hal tersebut akan sangat bagus dan hampir pasti akan mendongkrak popularitas Mega, jika ia mau melakukan kunjungan ke Cendana. Dalam hal ini bukan tanpa risiko. Akibat yang timbul berkaitan dengan kebijakan tersebut pasti ada, misalnya Mega dapat saja mendapat tentangan keras dari para pembisiknya yang benci terhadap almarhum HM Soeharto.

Juga Mega dapat saja dicap miring oleh orang-orang yang selama ini berseberangan politik dengan Jenderal Besar tersebut. Namun demikian, kalau masalah ini dijadikan alasan Mega takut berkunjung ke Cendana, dan membiarkan peluang itu hilang percuma, sungguh benar-benar sangat disayangkan.

Jika Guruh Soekarnoputra berani datang melayat dan kemudian berbicara di hadapan media. Mengapa Mega tidak berani melakukan kebijakan yang barangkali dianggap cukup kontroversial tersebut. Di sinilah sebenarnya untuk pembuktian bagi seorang Mega, apakah ia benar-benar seorang negarawan yang berjiwa besar atau tidak. Dan tentu saja rakyat di nusantara ini akan menjadi saksi sejarah yang luar biasa tersebut. (Penulis adalah pengamat politik dari Universitas Nasional Jakarta)

Senin, 11 Februari 2008

Soehartonomics

"SAYA meminta kepada pimpinan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, agar memikirkan penjabaran yang lebih luas dan lengkap mengenai demokrasi ekonomi yang kita kembangkan berdasarkan Pancasila. Kita semua berharap agar pemikirpemikir kita di bidang ekonomi dapat mengembangkan pemikiran mengenai demokrasi ekonomi itu; yang di satu pihak memiliki integritas ilmiah secara universal,dan di lain pihak dikaitkan dengan pengamalan semua sila dalam Pancasila selaku kesatuan...." (Presiden Soeharto dalam Pidato Kenegaraan 16 Agustus 1989).

Sungguh tidak mudah menjawab harapan Presiden Soeharto saat itu. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di bawah kepemimpinan Prof JB Sumarlin kemudian menyerahkan sumbangan pemikirannya pada Agustus 1990.

Setelah melalui perdebatan seru sesudah itu, akhirnya muncul semacam kesepakatan bahwa yang dimaksudkan dengan demokrasi ekonomi khas Indonesia adalah sistem ekonomi pasar terkelola.

Menyimak kesan dan kenangan atas wafatnya Soeharto, banyak kalangan kembali menyinggung tentang keberhasilan pembangunan ekonomi era Soeharto,seperti pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pengendalian inflasi yang efektif, ketahanan pangan yang meningkat, dan pendapatan per kapita yang naik berlipat-lipat. Bahkan muncul istilah Soehartonomics untuk menandai paradigma pembangunan ekonomi periode tersebut.

Tentu saja tidak mudah menjabarkan apa itu Soehartonomics karena Pak Harto sendiri - yang tampaknya terus bergumul dengan tarik-menarik (trade-off) antara pertumbuhan dan pemerataan, antara liberalisasi dan intervensi negara-justru meminta ISEI untuk menjabarkannya.

Konsep demokrasi ekonomi yang digagas Bung Hatta kemudian dikembangkan ekonom seperti Sarbini Sumawinata, Mubyarto, Kwik Kian Gie, Emil Salim, dan Sri Edi Swasono,memang terus-menerus mengundang polemik. Terkait erat dengan Soehartonomics adalah istilah Mafia Berkeley. Istilah ini muncul pada forum "Indonesian Investment Conference" yang diselenggarakan di Jenewa, November 1967, antara delegasi Indonesia dan para pebisnis global yang disponsori James A Linen,Presiden Time Inc.

Hadir dalam konferensi itu nama-nama beken seperti David Rockefeller (Chase) dan Robert Hills (Freeport). Konon istilah tersebut dilontarkan oleh David Rockefeller karena begitu terkesan dengan sejumlah ekonom muda lulusan Universitas California, Berkeley, yang begitu fasih berbicara dalam bahasa yang dimengerti para pebisnis global tersebut.

Itu sebabnya,para ekonom yang membantu Soeharto sejak awal, yang telah mengundang kembali Dana Moneter Internasional (IMF) sejak Juli 1966 dan Bank Dunia sejak Agustus 1966,seperti Widjojo Nitisastro,Ali Wardhana,MohammadSadli, danEmilSalim, sering dijuluki sebagai Mafia Berkeley generasi pertama.

Tentu tidak mudah menemukan benang merah pemikiran ekonomi Widjojo dan kawan-kawan atau yang juga pernah diistilahkan sebagai Widjojonomics.Penyederhanaan berlebihan terhadap pemikiran mereka bisa membawa kesimpulan seakanakan mereka tidak memiliki nasionalisme ekonomi, percaya membabi-buta kepada ekonomi pasar dan modal asing.

Dalam berbagai forum mereka sendiri selalu menyatakan sebagai ekonom kubu Keynesian yang percaya bahwa ekonomi pasar bekerja dengan baik apabila dikawal oleh perangkat regulasi pemerintah yang kuat. Prestasi para ekonom yang mendampingi Pak Harto memang cukup mencengangkan.

Namun, tak sedikit pula kalangan yang menyatakan sesungguhnya tugas memulihkan perekonomian Indonesia pasca-Orde Lama tergolong cukup ringan.Jika diibaratkan dengan kapal dan nakhoda, para ekonom tersebut seperti berlayar di atas kapal dengan bahan baku penuh, geladak yang tidak gaduh, dan suasana lautan yang tenang. Selain, tentu saja, pemulihan tersebut sejalan dengan kepentingan Amerika Serikat (AS) dan proyek besar kapitalisme internasional (Jeffrey Winters, 1999; Revrisond Baswir,2006).

Krisis hebat yang melanda Indonesia 1997/1998 menyadarkan kita ternyata pembangunan Orde Baru amat mengandalkan pada utang luar negeri dan dilakukan pada tingkat efisiensi yang rendah. Efisiensi rendah ini merupakan akibat dari maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Tentu kita menyesal mengapa Soehartonomics atau Widjojonomics yang dipraktikkan saat itu tidak disertai dengan pemerintahan yang bersih (clean government), sehingga kita bisa benar-benar menjadi salah satu Macan Asia.Padahal, secara universal telah muncul pemikiran bahwa kesejahteraan masyarakat dalam sistem ekonomi pasar mensyaratkan tiga pilar.

Pasar yang efisien, pemerintahan yang bersih, dan modal sosial yang kuat. Dengan demikian, dalam menimbang jasa Soeharto,kita tetap harus bersikap objektif, mengemukakan keberhasilan, tetapi juga kekurangannya. Hanya dengan sikap seperti ini kita bisa belajar dari masa lalu dan tetap terbuka untuk melakukan perbaikan terus-menerus di masa depan.

Sikap menonjol-nonjolkan keberhasilan tanpa mau mengakui kekurangan akan membuat kita dungu, romantis, dan melodramatik. Sebaliknya, sikap mencela sematamata membuat kita lupa,bahwa sebagai bangsa kita pernah belajar secara kolektif untuk waktu yang lama dengan biaya belajar yang sangat besar.

Selamat jalan,Pak Harto. Sebagai bangsa kami akan mengenangmu dengan segala kelebihan dan kekurangan. Yang baik akan terus kami pupuk,yang buruk akan kami buat menjadi lapuk. (*)

PROF HENDRAWAN SUPRATIKNO PhD
Direktur Program Pascasarjana dan Program Doktor IBII
Ketua ISEI Salatiga

Nasionalisme Pangan Pak Harto

Kenangan yang paling membekas pada saya tentang Pak Harto adalah penghargaan upakarti yang diberikan pada 1989 atas prestasi kami di Bukaka dalam membuat barang-barang yang dibutuhkan untuk mendukung kelancaran pembangunan seperti pompa angguk, mesin pembuat jalan raya, dan gangway untuk pesawat terbang.

Beliau sendiri yang memberikan nama Indonesia yang sangat bagus, yaitu garbarata. Penghargaan ini merupakan bentuk kepercayaan beliau terhadap orang muda. Jika diberi kesempatan, orang muda mampu berprestasi dan menghasilkan produk yang tidak kalah dengan buatan luar negeri.

Rasa bangga terhadap prestasi anak muda Indonesia tidak sebatas pada pemberian penghargaan, tetapi diikuti dengan kebijakan yang memberikan ruang yang leluasa untuk berprestasi melalui kompetensi. Untuk meningkatkan penggunaan produk yang sudah dapat dibuat di dalam negeri oleh putra-putra terbaik Indonesia, beliau mengangkat Ginanjar Kartasasmita sebagai Menteri Muda UPDN.

Kebijakan inilah yang kemudian melahirkan pengusaha-pengusaha tangguh tamatan perguruan tinggi yang mampu bersaing di kancah internasional seperti Arifin Panigoro melalui Medco, Aburizal Bakrie melalui Bakrie Brothers, Iman Taufik melalui Tri Patra, dan masih banyak lagi. Prestasi aksi dan prestasi hasil yang ditunjukkan oleh anak-anak muda menjadikan kami kerap diajak ngobrol santai untuk masalah yang serius. Beliau menekankan pentingnya visi pembangunan yang jelas dan operationable.Topik kesukaan beliau adalah pertanian.

Beliau tahu dengan detail masalah pertanian dan merupakan obsesinya untuk menjadikan petani Indonesia makmur dan mampu menikmati hasil pembangunan. Mayoritas masyarakat Indonesia adalah petani yang berkategori peasant, yaitu yang hanya berorientasi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sendiri (petani subsisten) bukan farmer, petani yang berorientasi komersial. Meski demikian, petani Indonesia merupakan soko guru sejati pembangunan.

Mereka memiliki tugas mulia menyediakan produk pangan dengan harga terjangkau agar semua lapisan masyarakat dapat mudah mengakses sumber pangan. Nasihat Pak Harto yang terus kami ingat adalah jangan lupakan petani karena jasa merekalah maka kita yang hidup di kota menjadi lebih nyaman.

Untuk membangkitkan kepercayaan masyarakat pada awal pemerintahannya, langkah darurat yang diambil adalah membuka keran impor beras dan mencari bantuan luar negeri untuk impor beras. Setelah kepercayaan diraih, stabilitas teraih. Pak Harto mulai melakukan revitalisasi sektor pertanian dan mendirikan Bulog sebagai penyangga harga beras agar terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.

Pada awal 1970-an, ketika minyak dijadikan senjata diplomasi oleh negara-negara Timur Tengah dalam menekan Amerika dan Eropa agar lebih fair dalam menjalankan kebijakan politik luar negerinya di Timur Tengah, Indonesia kebagian rezeki minyak akibat kenaikan harga yang cukup signifikan. Rezeki minyak ini dimanfaatkan dengan saksama oleh Pak Harto untuk membangun sektor pertanian.

Sepanjang 1970-an hingga 1980-an dilakukan investasi besar-besaran untuk infrastruktur pertanian. Sejumlah waduk, bendungan, dan irigasi dibangun. Bendungan Karang Kates di Jawa Timur, Waduk Mrica, Gajah Mungkur dan Kedung Ombo di Jawa Tengah, Bendungan Riam Kanan dan Riam Kiwo di Kalimantan, Bendungan Asahan di Sumatra, jalan-jalan pedesaan diperbaiki, juga program listrik masuk desa.

Selain itu, diperkenalkan manajemen usaha tani, dimulai dari Panca Usaha Tani, Bimas, Operasi Khusus, dan Intensifikasi Khusus yang terbukti mampu meningkatkan produksi pangan, terutama beras. Budi daya padi di Indonesia adalah yang terbaik di Asia. Pemerintah memfasilitasi ketersediaan benih unggul, pupuk, pestisida melalui subsidi yang terkontrol dengan baik. Pabrik pupuk dibangun.

Petro Kimia Gresik di Gresik, Pupuk Sriwijaya di Palembang, dan Asean Aceh Fertilizer di Aceh. Langkah pembangunan pertanian yang dilakukan Pak Harto dikenal dengan nama "revolusi hijau". Dari revolusi hijau ini dihasilkan peningkatan produksi beras secara besar-besaran. Produksi beras nasional praktis dapat memenuhi permintaan dalam negeri.

Pada puncaknya, pada 1984 Indonesia berhasil meraih surplus produksi beras. Bahkan, dapat membantu Afrika yang kala itu sedang dilanda kelaparan. Di saat yang sama, pemerintah berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat di pedesaan dan memperkecil tingkat ketimpangan antarmasyarakat desa dan kota di Indonesia walau pada saat yang sama ada penurunan tingkat harga produk pertanian.

Prestasi aksi dan prestasi hasil di bidang pembangunan pertanian telah mengantarkan Pak Harto mendapatkan penghargaan dari FAO pada 21 Juli 1986 di Roma. Ini adalah magnum opus Pak Harto yang sulit ditandingi. Setelah Pak Harto menarik diri dari pemerintahan, terjadi titik balik dalam prestasi pengelolaan pangan. Sejak akhir 2006, harga beras mulai merangkak naik.

Belakangan minyak goreng dan kacang kedelai sebagai bahan baku tempe naik lebih dari dua kali lipat. Ketahanan pangan kita demikian rapuh karena petani tidak diberi insentif yang menjamin keberlangsungan usahanya. Lebih ironis lagi karena euforia reformasi, jabatan penyuluh pertanian oleh beberapa pemerintah daerah dihapuskan. Kalau begitu jangan heran bila kita sekarang sulit menaikkan produktivitas pertanian.

Kita masih belum terlambat merevitalisasi sektor pertanian. Pemberdayaan petani melalui pendekatan budaya wirausaha adalah sebuah keharusan. Ini dilakukan dengan penguatan SDM petani melalui pelatihan dan bimbingan yang berkesinambungan. Selain itu, perlu sertifikasi aset petani agar bankable.

Ini akan membantu penguatan modal petani. Semangat swadaya petani perlu dibangkitkan. Titik masuknya adalah melalui dana bergulir yang dipertanggungjawabkan secara tanggung renteng. Jika ini dilakukan, impian Pak Harto menjadikan petani makmur dan bermartabat adalah suatu keniscayaan. Selamat jalan, Pak Harto. Semoga mendapat kemuliaan di sisi Allah. (*)

Fadel Muhammad
Gubernur Gorontalo

Rabu, 06 Februari 2008

Masa Kecil Soeharto, Orang Tua Cerai

Mantan Presiden Soeharto menapaki perjalanan hidupnya dengan kisah yang panjang. Salah satunya, tercermin dari buku otobiografi Soeharto, Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya.

Dalam buku tulisan G Dwipayana dan Ramadhan KH ini, Soeharto menuturkan kisah hidupnya secara panjang lebar, falsafah hingga harapan-harapannya. Berikut nukilan salah satu bagian yang bercerita masa kecil Soeharto:

Ingatan saya tentang perjalanan hidup ini bermula ketika saya berumur tiga tahun. Waktu itu saya sudah bersama mBah Kromodiryo, dukun yang biasa menolong orang yang melahirkan. Nama panggilannya adalah mBah Kromo, adik kakek saya. mBah Kertoirono. Beliaulah yang menolong ibi saya. Ibu Sukirah sewaktu melahirkan saya. Maka beliau pun bercerita bahwa saya dilahirkan pada tanggal 8 Juni 1921, di rumah orang tua saya yang sederhana, di desa Kemusuk, dusun terpencil, di daerah Argomulyo, Godean, sebelah barat kota Yogyakarta.

Ayah saya, Kertosudiro, adalah ulu-ulu, petugas desa pengatur air, yang bertani di atas tanah lungguh, tanah jabatan selama beliau memikul tugasnya itu. Beliau yang memberi nama Soehaarto kepada saya.

Saya adalah anak ketiga. Dari istri yang pertama beliau mempunyai dua anak. Sebagai duda, beliau menikah lagi dengan ibu saya. Tetapi hubungan orang tua saya kurang serasi hingga akhirnya setelah saya dilahirkan, mereka bercerai.

Beberapa tahun kemudian Ibu Sukirah menikah lagi dengan seseorang yang bernama Atmopawiro. Pernikahannya ini melahirkan tujuh orang anak. Sementara itu ayah saya pun menikah lagi dan mendapatkan empat anak lagi.

Tak terkira sebelumnya, bahwa pada suatu waktu di hari tua saya, saya mesti menjelaskan silsilah saya karena ada yang menulis yang bukan-bukan di bulan Oktober 1974 disebuah majalah. Saya menyuruh Dipo (G. Dwipayana) membantah tulisan itu, dan memuatkan bantahannya di dalam majalah dan surat kabar harian yang terbit di Jakarta. Tetapi selang sehari saya perintahkan supaya wartawawartawan berkumpul di Bina Graha, di kamar kerjanya.

Saya ingin secara pribadi menjelaskan silsilah saya itu. Di depan wartawan luar dan dalanm negeri saya beberkan, saya bukan seseorang dari keturunan ningrat. Saya hadapkan dalam pertemuan dengan wartawan-wartawan itu beberapa orang tua, saksi-saksi yang masih hidup yang mengetahui benar silsilah saya. Saya adalah keturunan Bapak Kertosudiro alias Kertorejo, ulu-ulu yang secara pribadi tidak memiliki sawah sejengkal pun.

Saya berterus terang, di dalam menghadapi kehidupan sewaktu kecil, saya mengalami banyak penderitaan yang mungkin tidak dialami oleh orang-orang lain. Saya katakan, tulisan-tulisan yang tidak benar mengenai silsilah saya itu mungkin bisa ditafsirkan yang tidak-tidak atau memberikan bahan yang mungkin tidak hanya merugikan saya kepada negara dan bangsa Indonesia. Dalam bahasa Jawa, ada pepatah "Sadamuk bathuk, sanyari bumi". Sekalipun hanya di-dumuk, tapi batuknya, berarti mengenai harga diri keluarga dan pribadinya, sanyari bumi. Sanyari, walaupun hanya kecil sejari mengenai bumi, warisan, itu juga bisa menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Sedangkan saya percaya bahwa setidak-tidaknya berita tersebut bisa membingungkan. Sebenarnya Presiden yang sekarang itu keturunan dari mana ?

Kalau itu sudah menimbulkan pembicaraan, timbul kemudian pro dan kontra. Kalau timbul pro dan kontra, dengan sendirinya mereka saling mempertahan kan pendapat masing-masing dan bisa terjadi perselisihan. Ini kesempatan yang baik untuk pihak yang melakukan subversi dalam melaksanakan gerpolnya, dan dapat meningkatkan gangguan stabilitas nasional.

Padahal stabilitas nasional sangat kita butuhkan dalam melaksanakan pembangunan. Bahkan saya kira lebih dari itu. Kalau tulisan itu benar, itu menunjukkan bahwa seorang anak yang sudah berumur enam tahun oleh ibunya diserahkan dengan begitu saja kepada temannya di desa Kemusuk. Ini menggambarkan martabat seorang wanita yang tidak ada harganya. Timbul dengan sendirinya pertentangan antara lelaki dan wanita dalam urusan harga menghargai. Ini juga menggambarkan keadaan yang tidak baik. Mungkin bisa menimbulkan kesan lebih dari itu; kenapa begitu mudah, diserahkan dengan begitu saja istri dan anak yang beumur enam tahun; mungkin karena perkawinannya tidak sah.

Jadi, kalau tidak sah, bearti anak haram atau anak jadah. Apakah ini tidak akan merugikan nama bangsa dan negara ? Karena itu, melihat jangka jauh yang tidak hanya mengenai nama pribadi saya, leluhur saya, tetapi juga mengenai saya yang secara kebetulan memperoleh kepercayaan dari rakyat menjadi Presiden, tulisan semacam itu tidak bisa dilepaskan dari kemungkinan dijadikan bahan dalam subversi dan gerpol. Karena itu, silsilaha saya harus dijelaskan. Sekalipun terpaksa rahasia pribadi dibuka, demi kepentingan pengabdian saya kepada negara dan bangsa, maka saya ceritakan semuanya itu, dan saya sedikitpun juga tidak merasa menyesal menceritakannya. Sebagai orang yang beriman, syarat dari iman adalah percaya kepada Tuhan, percaya kepada malaikat-malaikatnya, kepada rosul, kepada kitab-kitab suci, kepada hari kiamat dan percaya kepada takdir- semuanya itu saya terima sebagai keadaan yang menimpa diri saya, mulai lahir sampai sekarang, sebagai bekal hidup saya hingga kini.

Ceritanya setelah saya dilahirkan, saya tidak lama bersama ibu saya. Belum empat puluh hari saya sudah dibawa ke rumah mBah Kromodiryo, karena ibu saya sakit sehingga tak bisa menyusui. Di rumah mBah Kromo- saya digendong-gendong oleh mBah Amat Idris. Mbah Kromo yang mengajar saya berdiri dan berjalan, dan sering kali beliau membawa saya kemana-mana kalau beliau pergi bertugas ke luar rumah. Kalau mBah Kromo putri menjalankan prakteknya sebagai dukun bayi dan saya tidak dibawanya, maka saya sering diajak mBah Kromo ke sawah. Kadang-kadang saya digendongnya sambil membalik-balikkan tanah, atau dinaikkannya di atas garu. Kesenangan tersendiri yang tetap terkenang sampai tua, sewaktu saya didudukkan di atas garu dan memberi isyarat kepada kerbau untuk maju, untuk membelok ke kiri, ke kanan. Lalu turun ke sawah, bermain air, bermandikan lumpur. Maka kalau merasa capek atau kepanasan, saya disuruhnya menunggu di pinggir, di pematang atau di jalan. Pada kesempatan ikut dengan mBah Kromo di sawah tersebut saya suka mencari belut yang jadi kesukaan saya waktu makan, sampai sekarang.

Pada suatu hari saya menebang pohon pisang dengan sebuah sabit. Perkakas itu lepas dari tangan saya dan jatuh serta melukai kaki saya. Rupanya seisi rumah menganggap kejadian itu sepele pada mulanya. Tetapi kemudian ternyata luka di kaki saya menjadi borok. Maka Mbah Kromo menjadi risau dan beliaulah yang mengobati saya dengan penuh kasih. Memang, terasa sekali sampai sekarang betapa sayangnya beliau kepada saya.

Sekolah Soeharto Membaik Setelah Dititipkan ke Sang Paman

Salah satu tonggak perubahan hidup masa kecil almarhum Soeharto adalah saat dirinya dititipkan ke paman dan bibinya yang mempunyai penghidupan lebih baik. Hal ini tertuang dalam buku otobiograsi Soeharto, Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya.

Dalam buku tulisan G Dwipayana dan Ramadhan KH ini, Soeharto menuturkan kisah hidupnya selama bersama paman dan bibinya yang bertempat tinggal jauh dari orangtuanya di Kemusuk, Godean, Yogyakarta. Berikut nukilan salah satu bagian yang bercerita masa kecil Soeharto:

Yang mengiang di telinga saya sampai sekarang ialah ucapan ayah saya waktu beliau menyerahkan saya kepada paman dan bibi saya : "Saya menyerahkan Soeharto kepadamu. Silahkan asuh. Saya kuatir, kalau dia terus tinggal di Kemusuk, dia tidak akan menjadi orang. Saya sangat bersyukur jika anak ini memperoleh pendidikan dan bimbingan yang baik."

Ini sangat mengandung arti, memberikan gambaran apa yang ada pada orang tua saya.

Dan bersyukurlah saya, bahwa Pak Prawirowihardjo dan bibi saya menerima saya sebagai anaknya sendiri. Saya dianggapnya sebagai putranya yang tertua dan diberlakukan sama dengan putra-putranya sendiri, seperti Sulardi. Maka di tempat ini saaya disekolahkan dan mendapat pendidikan lebih baik daripada sewaktu di Kemusuk. Saya menekuni semua pelajaran, lebih-lebih pelajaran berhitung yang saya sukai, yang menyebabkan saya mendapat pujian dari guru. Di samping itu saya mendapat pendidikan agama yang cukup kuat, karena keluarga paman saya itu terbilang tebal ketaatannya kepada agama.
Tetapi baru satu tahun tinggal pada keluarga Pak Prawirowihardjo, ayah tiri saya, Pak Atmopawiro, bersama kakaknya, Pak Sumowijatmo dan kakak iparnya, Pak Sastroharjono, datang menjenguk saya yang sudah lama tidak dilihatnya. Dikatakannya ibu saya sangat rindu kepada saya, dan dijanjikannya saya akan dikembalikannya seetelah Lebaran, waktu sekolah dibuka lagi. Tetapi ternyata janjinya itu tidak dipenuhinya dan akibatnya saya mesti tinggal lama di Kemusuk dan di sekolahkan di desa Tiwir. Setahun kemudian saya dijemput lagi oleh Bapak dan Ibu Prawirowihardjo dan bisa kembali tinggal dan sekolah di Wuryantoro.

Dalam pada itu terasa latar belakang kehidupan saya di Kemusuk tumbuh menyubur selama saya menetap di Wuryantoro. Pengalaman di Kemusuk di tengah-tengah kaum tani, di tahun-tahun sembilan belas dua puluhan yang sedang sulit itu, menanamkan dalam diri saya benih-benih ini dipupuk bukan saja oleh hubungan saya yang berlanjut dengan kehidupan petani, tetapi juga dihidupkan oleh pengetahuan dan pengalaman yang saya peroleh di bidang pertanian di bawah bimbingan Pak Mantri Tani Prawirowihardjo. Saya sering menyertai paman saya itu dalam peninjauannya ke pelbagai tempat.

Dan Pak Prawirowihardjo bukan saja memberikan pengetahuan di bidang pertanian secara teoretis kepada saya, melainkan juga lewat praktek. Di tiga kebun percontohan yang saya ingat, yang ditekuni oleh Pak Prawirowihardjo, yakni yang di desa Ngungkring, Kenongo, dan Tangkil, saya diberi kesempatan untuk menggumuli tanah yang jadi kecintaan saya. Di samping itu saya mendengarkan tanya jawab antara Pak Prawirowihardjo dengan para petani yang memberikan tambahan pengetahuan kepada asaya.

Saya kagum kepada Pak Prawirowihardjo. Beliau sungguh-sungguh menekuni tugasnya sebagai mantri tani. Terbukti pula dengan penghargaan yang diterimanya dari bupati, berkat keberhasilannya memanfaatkan tumbuhan orok-orok sebagai pupuk untuk menyuburkan tanah gersang. Kebun percontohan di Tangkil yang mulanya sangat tandus, dari waktu ke waktu mendapat kemajuan.

Ketekunan dan kreativitas Pak Prawiro itu memberikan inspirasi kepada saya. Semangat saya dijadikannya hidup. Maka sewaktu diadakan semacam adu kemahiran membuat perladangan, saya bisa mengalahkan putra-putra Pak Prawiro. Berambang dan bawang putih tanaman saya ternyata dinilai paling baik.



Sore hari saya belajar mengaji di Langgar. Sering-sering saya semalam suntuk berada di langgar itu dengan teman-teman sepengajian.



Pada waktu itu pula, saya masuk kepanduan Hizbul Wathan, pramuka sebutannya sekarang, yang berdasarkan keagamaan.



Pada masa itu pula saya mulai mengenal pahlawan-pahlawan kita, melihat potret Raden Ajeng Kartini, mendapatkan guntingan potret Pangeran Diponegoro dari sebuah koran yang sampai di desa kami.



Keprihatinan hidup yang saya alami, pendidikan keluarga yang menjunjung tinggi warisan nenek moyang, pendidikan kebangsaan sewaktu di sekolah lanjutan rendah, pendidikan agama waktu mengaji, rasanya besar pengaruhnya dalam pembentukan watak saya. Saya juga diberi latihan spriritual oleh ayah angkat saya seperti puasa tiap Senin dan Kamis dan tidur di tritisan ( dibawah ujung atap di luar rumah). Semua anjurannya saya kerjakan dengan tekun dan penuh keyakinan.. Ada satu anjuran yang belum saya kerjakan, yaitu tidur di pawuhan, di tempat bekas bakaran sampah.



Pada masa itu saya ditempa mmengenal dan menyerap budipekerti dan filsafat hidup yang berlaku di lingkungan saya. Mengenai agama dan tata cara hidup Jawa. Pada masa itulah saya mengenal ajaran tiga"aja", "aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh", (jangan kagetan, jangan heran, jangan mentang-mentang), yang kelak jadi pegangan hidup saya, yang jadi penegak diri saya dalam menghadapi soal-soal yang bisa mengguncangkan diri saya.



Saya ingat terus akan ajaran leluhur,"hormat kalawan Gusti, Guru, Ratu lan wong atuwo karo", hormat kepada Tuhan Yang Maha Esa, guru, pemerintah, dan kedua orang tua. Sampai jadi Presiden saya merasa tidak berubah dalam hal ini. Saya junjung tinggi ajaran itu dan saya percaya akan kebenarannya.



Saya merasakan mencintai dan dicintai orang-orang tua saya, pengasuh-pengasuh saya, dan saudara-saudara saya, baik yang seibu maupun yang sebapak atau saudara angkat saya.

Pada waktu itu saya tahu bahwa Wedana Wuryantoro adalah RM. Sumoharjomo, dan ada seorang putrinya, Siti Hartinah yang satu kelas dengan Sulardi. Saya mesti menyebutkan nama anak Wedana ini, sebab saya menemukannya lagi kelak sewaktu saya sudah dewasa, cukup untuk membentuk keluarga.

Setelah menamatkan sekolah rendah lima tahun, saya dimasukkan sekolah lanjutan rendah (schakel school) di Wonogiri. Untuk ini saya pindah rumah ke Selogiri, 6 Km dari Wonogiri, bersama-sama dengan Sulardi dan tinggal di rumah kakak perempuan yang menjadi istri pegawai pertanian*).

Pengetahuan pertanian saya berlanjut di Selogiri itu. Sudiarto kakak Sulardi, juga tinggal bersama di Selogiri itu. Semasa itu Sulardi- yang sudah dibelikan sepeda oleh kakaknya, Sudiarto- dan saya suka bergoncengan naik sepeda ke sekolah, atau ke Kemusuk di hari-hari libur, menengok orang tua.

Terhitung sudah agak tua waktu saya disunat, yakni pada umur 14 tahun. Mungkin sebabnya Cuma karena tidak gampang mengumpulkan biaya. Dan begitu pun selamatan yang diadakan amat sederhana saja. Namun bagaimanapun, rasanya saya merasa gembira. Dan memang saya mesti bersyukur.

Sesuai dengan percakapan orang tua, setelah saya disunat, rasanya badan saya cepat menjadi tinggi dan kekar, tumbuh jadi besar. Padahal apa yang disediakan untuk saya tetap sama. Makanan yang tersedia tidak bertambah.

Kehidupan keluarga Citratani yang retak, menyebabkan kemudian saya mesti pindah ke Wonogiri dan tinggal pada keluarga teman ayah saya, seorang pensiunan pegawai kereta api, Pak Hardjowijono.

Keluarga Pak Hardjowijono tidak punya anak. Saya jadi tangan kanan mereka dalam membantu ini dan itu di rumahnya. Saya membersihkan rumah sebelum pergi ke sekolah. Saya disuruh belanja ke pasar dan menjual hasil kerajinan tangan Ibu Hardjo. Dan bahkan saya suka-suka harus memasak pada sore hari atau kalau sedang tidak bersekolah. Tetapi mengenal hal itu saya tidak mengeluh. Saya mendapat didikan yang bermanfaat, sangat bermanfaat di rumah Pak Hardjowijono. Saya jadi pekerja, jadi tukang yang akan bisa berdiri sendiri jika keadaan memaksa. Dan rasa-rasanya bisa belajar dengan cepat melakukan hal-hal itu.

Pada suatu waktu saya mendapat perhatian dari seorang pemilik warung yang biasa menerima hasil kerajinan tangan Ibu Hardjo untuk dijualkan. Pemilik warung itu mengajak saya untuk tinggal di rumahnya dan membantunya. Tetapi saya tahu diri, saya merasa tidak patut meninggalkan keluarga Pak Hardjowijono begitu saja, walaupun ada harapan yang lebih cerah jika ikut dengan pemilik warung itu. Dan saya ingat kepada ayah saya, yang menitipkan saya kepada Pak Hardjo. Saya tidak bisa melangkahi ayah saya. Di samping itu, saya mendapat kesenangan khusus bersama Pak Hardjo. Ia adalah seorang pangikut Kiai Darjatmo yang setia. Kiai Darjatmo itu mubalig terkenal di Wonogiri waktu itu. Malahan ia suka mengobati orang sakit dan dipercaya orang banyak dalam hal meramal.

Saya masih bisa membayangkan keramahan Kiai Darjatmo yang juga opzichter irigasi. Apabila Pak Hardjo berkunjung kepada Kiai Darjatmo itu, saya suka dibawanya dan diizinkan mendengarkan tanya jawab mengenai agama antara kedua orang tua itu. Saya jadi bisa meresapkan ajaran filsafat hidup Pak Kiai Darjatmo itu. Saya mendengarkan penjelasannya mengenai isi kitab suci Al-Qur`an. Saya mendapatkan pengertian mengenai apa itu samadi dan apa itu kebatinan.

Banyak orang terpikat oleh Pak Kiai Darjatmo yang alim, jujur, dan tidak suka melihat kecurangan berlaku disekitarnya itu. Tidak berapa lama setelah kemerdekaan, Pak Darjatmo terpilih menjadi anggota Komite Nasional Indonesia (KNI) di Wonogiri dan dipercaya untuk memimpin di bidang kerohanian dalam perjuangan menghadapi Belanda di waktu-waktu sesudah itu. Orang inilah pula yang sering saya kunjungi waktu saya menjadi komandan resimen di Salatiga.

Saya merasa tertarik oleh cara kiai Darjatmo itu dalam menjelaskan dan mengajar orang. Minat saya besar untuk sering mendengarkan Pak Kiai itu bicara mengenai filsafat hidup. Rasa-rasanya Pak Kiai Darjatmo itu pun tertarik kepada saya. Maka kemudian, dengan seizin Pak Hardjo, saya diizinkan kadang-kadang datang sendiri ke rumah Kiai Harjatmo yang letaknya tidak berjauhan dengan tempat tinggal Pak Harjo. Di langgar Kiai Darjatmo inilah saya banyak belajar mengenai agama dan kepercayaan. Saya mendengarkan secara langsung nasihat-nasihat yang diberikan oleh Kiai Darjatmo pada mereka yang memerlukan, orang-orang terpelajar, pedagang, pegawai, maupun petani sampai bakul-bakul.